Revolusi Oktober Di Kampung Belanda Depok
Opa Yoti--demikian dia disapa--telah berpulang. Sebelum itu saya sempat mendulang cerita dari dirinya.
“1945 belum merdeka!” tandas Opa Yoti di kediamannya, Jl. Pemuda, Depok. “Peristiwanya dadakan. Tiba-tiba Jepang menyerah setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom. Jadi pemerintahan di sini kosong. Saat itu tidak ada hukum.”
Di usia senja Opa Yoti tidak pikun. Dia punya hobi membaca. Sewaktu saya bertandang ke rumahnya, Opa Yoti sedang asyik membaca koran. Untuk aktivitas yang satu ini dia dibantu kacamata. Sejumlah buku bertumpuk di ruang tamunya.
Alumni Europese Lachre School (sekarang SDN 1 Depok di Jalan Pemuda) membeberkan peristiwa yang terjadi sesaat setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 di Depok. Cukup detail.
“Hari itu tanggal 11 Oktober 1945,” Opa memulai cerita. Masih pagi. Sinar mentari belum terik. Tiba-tiba saja terjadi kegaduhan. Sekelompok orang berbaju hitam-hitam memasuki perkampungan Belanda Depok.
“Pagi itu, sekonyong-konyong ada yang ngegedor,” ungkap Opa Yoti mengenang sedikit banyak pengalaman pahit hidupnya.
“Orang-orang datang dari mana-mana membawa golok. Mereka masuk ke dalam rumah. Kita kaget dan tidak pernah menyangka. Semua barang-barang dihancurkan, ditebas pakai golok. Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya menyerah karena dikalungin golok di leher. Mundur tak bisa maju tak bisa.”
Garis Depan