Ribut di Sultan, Damai di Sunan
Jumat, 17 Juni 2011 – 10:47 WIB
Di sisi lain, Komite Normalisasi juga melakukan perbaikan di sana-sini. Dari soal kelengkapan administratif, persiapan tata tertib sidang, sampai hal-hal sekecil lubang jarum pun, agar tidak menciptakan bahan polemik yang tak berkesudahan. Bang Yos menyebut, sudah dua kali terantuk batu, di Kongres Riau dan Jakarta, saatnya belajar dari kegagalan. Keledai saja tidak mau jatuh di lubang yang sama. Kalau nanti terperosok lagi, entah apa lagi namanya" Kambing congek"
Sama persis dengan salah satu kandidat IGK Manila. Mantan Corp Polisi Militer ini mencontohkan saat bertugas di Sumbagsel, menghandle anggotanya yang berkelahi. Dia cari marganya apa" Dia cari siapa Tulang-nya yang paling tua dan disungkani" Nah, dialah yang paling bisa menundukkan hati yang berkonflik. Dialah yang bisa menyelesaikan dengan baik. Lalu siapa ”Tulang”-nya Pak GT" Peserta FGD pun langsung connect, yang dimaksud adalah Presiden SBY.
Mengapa Pak GT seolah-olah sudah mendapat vonis ”bersalah”" Lalu salahnya apa" Mengapa FIFA mencekal beliau, sebelum pemilihan" Mengapa tidak diberi hak untuk klarifikasi atas tuduhan yang disampaikan ke beliau" Apa ini yang dinamai fairplay" Lalu, buat apa kita tunduk pada FIFA" Organisasi sepak bola dunia ini juga tidak bersih-bersih amat dari skandal dan mafia" Kalau mau di sanksi, ya sanksi saja" Kita masih bisa main bola kok, tanpa FIFA"
Iya, suara-suara itu memang masuk akal. Tidak ada yang salah dari Pak GT. Haknya beliau untuk maju sebagai kandidat. Tetapi, lagi-lagi, sebagai anggota lembaga sepak bola dunia, kita juga harus menghormati hak-hak FIFA dengan segala plus minusnya. Perdebatan soal FIFA, sudah terlalu lama, dan hasilnya hanya berputar-putar tanpa solusi. FIFA memang bukan dewa keadilan, tapi bisa menjadi malaikat pencabut nyawa. Dampak sanksi itu, jauh lebih besar dari kepuasan kita mempertahankan hak untuk berdemokrasi.