Ritual Pawang Hujan: Tancapkan Keris di Tanah, Awan Menyingkir Perlahan
Munasik lebih dikenal dengan nama Bapak Rendi di daerah tempat tinggalnya, Kecamatan Loa Duri. Dikenal sebagai pawang hujan, sekaligus pawang jatilan. Pertunjukan kuda-kudaan yang berpenunggang, disertai kekuatan gaib.
Tak hanya itu, pria kelahiran Blitar itu juga biasa dipanggil terkait urusan dunia lain atau gaib. “Misal pernah diminta untuk bersihkan rumah dari makhluk halus. Mengobati orang kesurupan,” jelas ayah beranak lima itu.
Belajar dan menekuni pawang hujan sejak 14 tahun silam, dia berguru pada dua orang. Memang tebersit dalam hatinya untuk “ngelmu”. Saat itu syaratnya dia harus puasa mutih mundur. Jenis puasa kejawen yang hanya boleh mengonsumsi nasi putih dan air putih.
“Puasanya tiga hari tiga malam. Hari pertama hanya boleh berbuka dengan tiga suap nasi dan tiga tegukan. Hari kedua, dua suap nasi dan dua tegukan hingga hari ketiga hanya sesuap dan seteguk. Hari keempatnya, puasa 24 jam. Dari jam 6 sore sampai ketemu jam 6 sore lagi,” paparnya.
Ada doa-doa yang tentu terus dirapal selama proses tersebut, termasuk berzikir. Munasik juga diharuskan mandi dari tujuh sumber mata air setelah matahari tergelincir hingga kembali terbit esoknya.
“Selama proses itu juga tidak boleh tidur di bawah atap,” kata dia. “Ya tidurnya di tempat terbuka. Hujan ya kehujanan,” lanjut pria 51 tahun itu.
Cara kerjanya bukan menolak hujan. “Namanya itu sudah dari Yang Maha Kuasa, jadi tidak bisa ditolak. Jadi disingkirkan,” kata Munasik. Dirinya tidak harus hadir di lokasi acara, dari jauh pun bisa.
Selain menyingkirkan saat awan mendung terlihat, saat hujan tiba pun bisa. Namun butuh waktu, dia akui paling lama 15 menit. Misal lebih dari 15 menit hujan tidak menyingkir, maka tidak dikabulkan. Dia menyebutnya keberatan, terlampau deras.