Rizal Ramli dan Nufransa Ibarat Berbalas Pantun
Selaku Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti tentu keberatan terhadap pernyataan RR. Dia membandingkan tudingan RR tentang utang yang lampu kuning dengan fakta bahwa, pada saat yang sama, semua lembaga pemeringkat (Moodys, Fitch, S&P, JCRA dan Rating & Investment) menyatakan Indonesia adalah investment grade.
”Bukankah bila menggunakan standar perbandingan antar negara-negara di dunia, Indonesia memiliki rasio utang terhadap PDB dan defisit APBN yang relatif kecil dan hati-hati? Mengapa (RR) menolak menggunakan indikator yang dipakai untuk membandingkan antara negara? Mengapa alergi dan protes bila Indonesia disebutkan dalam situasi baik oleh lembaga- lembaga internasional. Itu ibarat pepatah ’buruk muka cermin dibelah’,” tulis Nufransa.
Nufransa juga menolak istilah RR tentang ”gali lubang tutup jurang”. Dia menyebut, pemerintah justru terus melakukan penurunan defisit APBN dan primary balance. Sejak 2012, pemerintah sudah mengalami defisit keseimbangan primer. Primary balance tertinggi terjadi pada 2015 (Rp -142,5 triliun) dan 2016 (Rp -125,6 triliun), justru pada saat RR menjadi bagian dari Pemerintahan Jokowi.
Dengan pengendalian tren negatif yang dilakukan Menkeu Sri Mulyani secara hati-hati sejak pertengahan 2016, lanjut Nufransa, dalam beberapa tahun ke depan diproyeksikan defisit akan makin mengecil dan primary balance makin seimbang, bahkan mencapai surplus. ”Mengapa arah yang baik dan prudent tersebut justru dikritik dan dituduh ugal-ugalan?” ujarnya.
Selain itu, ”Bukankah yield surat utang pemerintah pada 2016-2017 justru menurun sewaktu US Fed Rate meningkat tiga kali? Mengapa fakta itu tak pernah disebutkan?”
Nufransa juga menyoroti perihal trade account, service account dan current account, yang disebut RR semuanya negatif. Kata dia, kondisi negatif tersebut terjadi juga semasa RR masih menjadi bagian dari Pemerintahan Jokowi. Nufransa memastikan, pemerintah sekarang memusatkan perhatian untuk memulihkan ekspor dan investasi melalui berbagai kebijakan, baik insentif fiskal, penyederhanaan perizinan, juga kemudahan dan perbaikan pelayanan ekspor impor.
Sementara, terkait pelemahan rupiah terhadap dolar AS, Nufransa menyebut hal itu lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal. Pelemahan nilai mata uang hampir terjadi di semua negara Asia, disebabkan adanya rencana kenaikan suku bunga The Fed oleh Gubernur Bank Sentral AS yang baru, serta rencana proteksi perdagangan oleh Presiden Trump.
Selanjutnya mengenai Debt to Service Ratio (DSR) yang merupakan rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor suatu negara, menurut Nufransa, datanya tidaklah setinggi pernyataan RR. Pada 2017 misalnya, DSR tercatat 34,2%, bukan 39% seperti disampaikan RR. ”Peningkatan DSR bukan karena biaya bunga yang tinggi, tapi lebih kepada cicilan pokok utang jatuh tempo yang agak besar pada 2018,” tulisnya.