RUU SDA Batal Disahkan, Pemanfaatan Sumber Daya Air Ilegal Bisa Makin Marak
“Nah, UU Pengairan itu tidak dapat mengakomodir kondisi SDA saat ini. UU ini lebih banyak mengatur air untuk pengairan,” ucapnya.
Selain itu, Peraturan Perundangan di tingkat daerah juga menjadi tidak pasti karena tidak adanya cantolan hukum untuk pemanfaatan dan pengusahaan SDA.
“Hal itu menyebabkan konservasi dan perlindungan SDA tidak optimal dilaksanakan di tingkat daerah,” kata Heru.
Berlarut-larutnya pengesahan RUU SDA itu juga menyebabkan letidak pastian hukum bagi para pengusaha, khususnya pengguna SDA. “Ini menyebabkan ketakutan bagi para industri pengguna air yang akan datang ke Indonesia. Artinya, investor ragu-ragu untuk berinvestasi,” ujarnya.
Dalam catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi paling besar pada 2018 lalu masih berasal dari sektor listrik, gas, dan air yang mencapai Rp 117,5 triliun atau 16,3% dari total investasi, di mana Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor ini sebesar Rp 392,7 triliun atau 15 persen) dari total investasi.
Heru mengatakan pemerintah daerah juga masih belum berani atau ragu-ragu untuk mengimplementasikan program-program pengelolaan SDA jika RUU SDA ini belum disahkan. “Ini bisa menyebabkan kondisi SDA semakin tergradasi secara kuantitas dan kualitas,” ucapnya.
Direktur Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG), Mohamad Mova Al'Afghani, melihat berlarut-larutnya pengesahan RUU SDA ini akan menghambat pencapaian target 100-0-100 pada 2019 karena investasinya mandeg.
Program ini merupakan pemenuhan target 3 sektor, yaitu pemenuhan 100% akses layak air minum, pengurangan kawasan kumuh menjadi 0 persen, dan pemenuhan 100 persen akses sanitasi layak. "Semua butuh investasi, dan investasinya mandeg karena terlalu lama RUU ini tidak diundangkan," kata Mova.