Saatnya Pemerintah Harus Tegas, Memberi Perintah, Bukan Imbauan!
"Sebab jika tidak, sekali lagi masyarakat bergerak berdasarkan persepsi yang ada di benaknya," kata Firman.
Saat ini, terdapat dua persepsi masyarakat terhadap wabah COVID-19 yakni yang paham dengan ancaman COVID-19 dan yang kurang menyadari ancaman virus corona jenis baru itu.
"Jika pemahaman masyarakat dapat diukur dari refleksinya yang diperlihatkan lewat media sosial, nampaknya masyarakat paham besarnya ancaman COVID-19. Mereka takut, merasa perlu untuk menghindarinya, dan berupaya menyebarluaskan upaya pencegahan masifnya penularan virus itu dengan berbagai cara," tambah pendiri LITEROS.org itu.
Hal itu dibuktikan dengan diterapkannya kerja, belajar dan beribadah dari rumah yang menjadi gaya hidup. Perlahan masyarakat menunjukkan kesertaannya dalam mewaspadai COVID-19 itu.
Demikian juga adanya gerakan komunitas yang memprakarsai pengumpulan APD bagi tenaga kesehatan, sumbangan makanan buat pekerja harian yang rezekinya tak lancar, sampai upaya mandiri warga yang melakukan upaya penyemprotan disinfektan di lingkungan perumahan.
Bahkan ada sekelompok warga yang menutup jalan ke kompleks perumahan dari kehadiran orang asing, maupun menolak kepulangan tenaga kesehatan ke kompleks perumahan lantaran dianggap sebagai agen pembawa virus.
"Dalam hal ini, dalam tinjauan pemahaman COVID-19 sebagai ancaman kesehatan terdapat spektrum dari tingkat paham terhadap ancaman hingga merasa ancaman ada di hadapannya, termasuk ancaman yang datang dari tenaga kesehatan itu sendiri," papar Firman.
Namun jika dilihat dari praktik pelaksanaan hidup normal, kesadaran terhadap ancaman kesehatan itu berhadapan langsung dengan budaya yang telah tertanam lama dalam masyarakat yang terbiasa berhubungan tanpa adanya jarak fisik. Hal itu menyebabkan imbauan pembatasan jarak fisik menjadi naik turun.