Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Sahur Puisi di Hari Puisi Indonesia

Dari Semangat “Binatang Jalang” ke Padang Kota Kata

Sabtu, 27 Juli 2013 – 10:14 WIB
Sahur Puisi di Hari Puisi Indonesia - JPNN.COM

Romi melihat, puisi-puisi dari penyair yang dijuluki “Binatang Jalang” ini, yang lahir pada zaman Jepang memiliki semangat revolusi yang besar. Yang tak takut menentang kekuasaan para penjajah. Puisi-puisi Chairil itu, diduganya lahir dari semangat propaganda Jepang terhadap daerah jajahannya. Semangat propaganda itu, berkemungkinan muncul dari propaganda Jepang di media-media massa yang diterbitkan Jepang. Di contohkannya, seperti puisi “Aku” dan “Di Ponegoro”. “Jadi, masih banyak ruang untuk mengkaji Chairil,” ujarnynya.

Di sisi lain, Sondri menyebutkan, puisi telah lahir dari rasa nyeri akan dunia ini. Puisi-puisi akan terus lahir dan mengalir seperti perjuangan terhadap kemanusian yang tak bisa dihentikan. Puisi-puisi akan terus lahir walau setengah dunia ini rusak oleh tangan-tangan manusia.

Baginya, perayaan itu mengembalikan jiwa yang retak oleh berbagai peristiwa penuh tragedi dan kepalsuan. Orang-orang yang hadir dalam perayaan ini sedang mencoba untuk mengingat seorang besar yang telah mencatat sejarah, memancangkan satu tonggak bagi bangunan perpuisian di negeri ini. Seorang “binatang jalang, dari kumpulan yang terbuang”. Yang mengajarkan pemberontakan terhadap zaman yang sudah kehilangan ruhnya.

“Kita sedang menunggu Chairl-Chairil baru yang mampu melampaui apa yang dimiliki zamannya. Yang tidak hanya sebagai pengekor dan bagian dari kecenderungan massa. Kita membutuhkan beratus bahkan beribu Chairil agar kita bisa menembus kebuntuan wacana dan keadaan ini,” ujarnya.

Makna dari sebuah peringatan, sambung suami dari cerpenis Yetti A.KA, adalah bagaimana bisa mengambil pelajaran di`balik apa yang peringati tersebut. “Kita peringati hari lahirnya Chairil, untuk bisa kita lahirkan penyair-penyair muda yang akan mengukir lembaran hari depan untuk jadi momentum baru dalam perjalan waktu berikutnya,” ucapnya.

Di masa ini, bisa membaca puisi-puisi Chairil bisa sambil merenung dan meresapi maknannya. Ia telah berlalu berpuluh tahun. Semangat zamannya jelas terbanyang dalam karya-karya Sang Maestro. Di saat itu bangsa Indonesia sedang mempertaruhkan segenap jiwa raga untuk sesuatu yang hakiki yang bernama kemerdekaan.

“Jika masa itu adalah masa revolusi fisik, kini masa perjuangan lain sedang menanti. Kita masih berada di bawah bayang-bayang yang menindas,” kata Sondri BS.

Puisi untuk Kita dan Kota

Jam nol-nol. Ketika keranda kutarik bumi tak melirik. Seperti merapat memeluk erat. Dingin mendegapkan langkahku, yang bersiul menuju kuburan zaman...

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA