Saksi Tragedi Pelanggaran HAM Ungkap Kekerasan
Minggu, 28 April 2013 – 03:47 WIB
Tidak hanya tragedi 1965 yang memakan korban pelanggaran HAM. Kasus eksploitasi sumber daya alam di Mollo Utara kabupaten TTS juga menyimpan cerita pilu dari para korbannya. Salah satunya, yakni Ibu Aleta Baun yang baru saja menerima penghargaan Goldman Inveronmental Prize 2013 pertengahan April lalu. Aleta Baun yang hadir pada kesempatan itu mengisahkan, pada tahun 1990-an, dirinya mengorganisir warga untuk menentang pertambangan batu marmer di GUnung Anjaf Nausuus di wilayah Mollo Utara saat itu. Perjuangannya dilakukan dengan cara mengumpulkan kekuatan dengan masyarakat. Bahkan dengan berjalan kaki berkilo-kilometer di tengah hutan dan bersembunyi di tengah hutan karena menjadi target kekerasan preman-preman yang dibayar oleh perusahaan tambang tersebut.
"Kami berjuang untuk pertahankan alam yang terdiri dari tanah, batu, air dan hutan yang menjadi sumber kehidupan kami. Jadi ketika itu saya selalu diincar untuk dibunuh oleh preman-preman yang dibayar oleh pengusaha tambang. Tapi saya tetap bertahan, bahkan saya harus bersembunyi di hutan dan jarang pulang rumah. Sehingga saya dituduh punya laki-laki lain karena sering keluar. Tapi kami terus mengumpulkan kekuatan melalui kelompok masyarakat adat sehingga kami berhasil menghentikan penambangan marmer di sana," kisah Aleta Baun.
Menanggapi sejumlah kesaksian tersebut, Dr.John Mansford Prior, SVD dari Psat Penelitian Agama dan Kebudayaan Candraditya, Wairklau, Maumere mengungkapkan, kasus kekerasan atau pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, khususnya wilayah NTT termasuk dalam terorisme. Bahkan kata "kekerasan" pun menurut dia belum mampu mengungkapkan apa yang dialami para penyintas. Pasalnya, akibat dari kekerasan tersebut, penyintas kehilangan lokasi kehormatan dalam masyarakat. Mereka dijauhi dan disingkirkan oleh keluarga sendiri, oleh kenalan dan warga sekampung. Malah tiadk jarang mereka dikutuk pimpinan gereja.