Salah Nama, Terpidana Mati Itu Ajukan PK
JAKARTA - Terpidan Mati Raheem Abagje terus menempuh upaya hukum. Setelah gugatan PTUN atas Keputusan Presiden menolak grasi ditolak, kuasa hukum Raheem Abagje akan mengajukan peninjauan kembali (PK) dengan novum atau bukti baru berupa kesalahan identitas Raheem Abagje.
Suasana sidang di pengadilan PTUN Jakarta Timur (Jaktim) kemarin (9/3) memanas. Pasalnya, Kuasa Hukum Raheem Utomo Karim memprotes keras terhadap perwakilan pemerintah dari Sekretaris Negara.
Perwakilan pemerintah itu dinilai tidak bisa menunjukkan surat kuasa hukum dan belum menerima surat gugatan. Sayangnya, setelah ditunda beberapa saat Hakim Hendro Puspito justru memutuskan menolak gugatan tersebut.
Kuasa Hukum Raheem Abagje menjelaskan, hakim dengan tanpa pertimbangan menolak gugatan terhadap keppres tersebut. Padahal, seharusnya PK ini dipelajari dahulu apa saja materinya. "Apalagi, perwakilan pemerintah ternyata tidak bisa menunjukkan surat kuasa hukum," ujarnya.
Dengan peradilan yang diklaim Utomo sesat ini, maka perlawanan hukum tidak akan berhenti. Pasalnya, masih ada cara lain, yakni mengajukan peninjauan kembali (PK). Ada novum yang begitu penting yang dipastikan akan mengubah putusan hukuman mati terhadap Raheem Abagje. "Yakni, kesalahan identitas atau obyek hukumnya," paparnya.
Sebenarnya, Raheem Abagje itu bernama Jamiu Owolabi Abshim. Kesalahan nama itu dikarenakan pengadilan sejak sejak awal berpatokan pada paspor dengan nama Raheem. Padahal, paspor tersebut merupakan paspor palsu yang dibuat penjebak Raheem, yang dipastikan merupakan gembong narkotika. "Kami mengusahakan pembuktian atas kesalahan identitas ini," terangnya.
Rencananya, kedubes Nigeria akan memberikan bukti identitas tersebut. Sehingga, pengadilan mau tidak mau harus membatalkan putusan hukuman mati demi hukum. "Ini cacat hukum karena kesalahan identitas," tegasnya.
Bukankan Kejagung dan Kemenkumham telah membuat surat keputusan bersama yang membatasi PK? Dia menjelaskan, untuk itu pihaknya akan berupaya meminta sikap dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan PK bisa dilakukan berulang kali. "Sehingga, PK bisa diterima dan dilanjutkan," paparnya.
Sementara dalam pembacaan putusan, Hakim PTUN Hendro Puspito menjelaskan, Keppres tidak bisa diterima karena grasi merupakan hak preogratif dari presiden. Hak preogratif tersebut bukan suatu kebijakan yang bsia dipermasalahkan secara hukum. "Hak preogratif bukan ranah dari PTUN," ujarnya.
Sementara Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Tony Spontana menuturkan bahwa upaya hukum pada penolakan grasi ini tentu seharusnya tidak bisa dilakukan. Baik PTUN atau PK. "Tentunya, Kejagung masih menilai semua telah final," papar lelaki asal Madiun tersebut.
Di sisi lain, pemerintah Australia juga terlihat masih melakukan upaya untuk menghentikan eksekusi gelombang kedua. Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengatakan, pihaknya akan kembali berusaha menghubungi Presiden Jokowi untuk melakukan lobi. Meskipun, dia masih belum bisa memastikan kapan akan melakukan pembicaraan telpon lagi.
"Saya ingin bicara lagi dengan Presiden Indonesia untuk melanjutkan pembicaraan sekitar satu minggu sebelumnya. Sampai sekarang, hal itu masih belum bisa dilakukan karena beberapa faktor. Tapi, kami tidak akan berhenti mencoba upaya untuk melindungi warga negara Australia," terangnya.
Terkait protes pemerintah soal foto pemindahan yang beredar, Aboott mengaku sudah menghubungi Duta Besar Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema untuk menyampaikan keluhan itu.
"Kami ingin menyampaikan ketidaksenangan kami terhadap perlakuan yang diterima dua warga Australia. Kami menghormati kedaulatan Indonesia, tapi kami juga berpendapat bahwa eksekusi ini tak akan baik untuk pemerintah secara jangka panjang," terangnya. (idr/bil)