Sastra dan Sejarah Menggugah Ingatan Kolektif Bangsa
“Sejarah kolonial lebih mengungkap tokoh dan nama besar, tetapi masyarakat biasa, orang kecil yang seakan tak membuat sejarah sesungguhnya ikut berperan dalam perjalanan sejarah itu sendiri. Di mana mereka? Sedang apa mereka? Nah, kalau kita tahu informasinya, bisa kita ramu dalam bentuk novel menarik,” ungkap Banu.
Menurut Iksana Banu, karena pilihan pada masa Sejarah Kolonial, maka dirinya melakukan riset data atau dokumen masa kolonial, yakni dari para pengelana Eropa yang menulis catatan perjalanannya, tentunya yang sudah dibukukan. Selanjutnya dari memoar atau kenang-kenangan yang ditulis para pejabat baik Belanda maupun pribumi, juga karya novel yang sudah ditulis para jurnalis misalnya.
Mantan wartawan yang kemudian menjadi novelis dan memperdalam antropologi Nusya Kuswantin menceritakan bagaimana proses kreatifnya melahirkan novel berlatar belakang peristiwa mencekam tahun 1965.
“Profesi saya sebagai wartawan dan tempat tinggal saya di Banyuwangi, membuat orang bertanya tentang banyak hal. Juga mereka menceritakan pengalaman masa lalunya. Ini awalnya yang membuat saya terdorong serius mendalami masalah terkait peristiwa 1965,” katanya.
Secara personal, Nusya menceritakan bagaimana kesulitan mengambil sudut pandang, siapa aku dan bagimana nanti jika novel ini terbit.
“Ibu pernah menyarankan agar jangan menerbitkan soal ini dulu, tunggu situasi benar-benar aman. Akhirnya setelah saya kuliah lagi di Yogyakarta dan kondisi di sana sangat memungkinkan, keberanian untuk menerbitkan novel berjudul Lasmi semakin tinggi,” ungkap Nusya.
Harus Ada Keberanian
Begitu juga cerita peneliti dan penulis sejarah Amurwani Dwi Lestariningsih. PNS di Kemendikbudristek ini juga menceritakan bagaimana awal mula tertarik menulis terkait peristiwa 1965, khsusunya dari sudut perempuan yakni para tahanan wanita yang tanpa diadili tetapi harus mendekam di penjara dan menderita lama di jeruji besi masa Orde Baru.