Satu Abad NU, dari Banser Rock You sampai ’Wak Min Thariq'
Selain acara pertunjukan yang meriah dan penuh ingar-bingar itu, NU juga mengadakan acara halakah internasional bertema ‘Muktamar Fikih Peradaban’.
Beberapa ulama, mufti, dan ahli fikih internasional dikumpulkan untuk membahas reorientasi fikih dari wawasan tradisional menuju wawasan global yang berkesesuaian dengan kebutuhan dunia internasional.
Pada masa lalu halakah fikih di kalangan NU membahas masalah-masalah tradisional seputar amalan ibadah keseharian nahditin. Fikih tradisional NU berupaya menjawab pertanyaan atas praktik keagamaan keseharian nahdiyin yang dianggap bidah karena menyimpang dari tuntunan syariat Islam.
Isu-isu yang dibahas dalam fikih tradisionalis seputar membaca basmalah dalam surat Al-Fatihah, melafalkan ’sayidina’ dalam tasyahud, kunut salat Subuh, mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud, mengusap wajah setelah salat, ziarah kubur, tahlilan, manakiban, selawatan, dan praktik-praktik lain yang bisa dilakukan oleh warga NU.
Pada era kepemimpinan K.H Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di NU, energi pembahasan fikih diarahkan kepada rekontekstualisasi fikih untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer. Di era Gus Dur muncul gagasan pribumisasi Islam yang berusaha mempribumikan berbagai ajaran Islam untuk menyesuaikan diri dengan tradisi lokal.
Gus Dur, antara lain, mengajukan gagasan untuk mengganti kalimat salam ‘as-salamu alaikum’ menjadi ‘selamat pagi’, ’selamat siang’, atau ’selamat malam'.
Gagasan ini tidak sepenuhnya bisa diterima oleh seluruh kalangan ulama NU. Karena gagasan-gagasan Gus Dur dianggap nyeleneh, KH R As’ad Samsul Arifin dari Situbondo menyatakan mufaraqah atau menarik diri dari kepemimpinan cucu KH Hasyim Asy'ari itu di NU.
Halakah fikih peradaban internasional yang digagas Ketua PBNU KH Yahya Cholil Staquf kali ini melanjutkan gagasan-gagasan Gus Dur. Selama kepemipinan Gus Yahya, NU sudah ‘goes international’ dengan mengadakan pertemuan R-20 yang mengumpulkan tokoh-tokoh lintas agama di Bali pada 2022 lalu.