Satu Hari dalam Kehidupan Peternak Sapi di Australia
"Ya ada efeknya sedikit banyak. Sapi sudah siap di peternakan, makin banyak sapi, makin banyak butuh rumput hijau atau pakan yang harus Anda sediakan. Jadi kami hanya mengkhawatirkan kesejahteraan mereka (ternak) di peternakan itu," tutur Markus.
Kala ditanya bagaimana Markus menjaga arus modalnya, dia sempat meminjam ke bank. Namun, tidak banyak karena khawatir akan pendapatannya yang mampet.
"Untungnya pinjaman ke bank tidak banyak, jadi meski bukan masa tersulit dan kami tidak happy, kami pinjam untuk 2 bulan, jadi kami tak terlalu punya banyak utang," jelas dia.
Pada kuartal III ini, Indonesia kembali memangkas angka impor dari 200.000 ekor di kuartal II menjadi hanya 50 ribu ekor saja. Lantas bagaimana lagi dampaknya pada peternak seperti Markus?
"Melihat musim kering ini sangat berat. Orang butuh uang. Kami harus membeli suplemen, berefek banyak. Kami harus menghabiskan uang supaya sapi-sapi itu bisa bertahan, namun pada akhirnya sapi itu tak bisa ke mana-mana," tuturnya.
Namun, Markus yang mengatakan hanya seorang peternak yang sederhana, tak mau menyalahkan siapa-siapa. Baik pemerintah Australia maupun Indonesia, yang hubungannya kerap naik-turun itu.
"Ya sedikit, naik-turun, kami harus menyeimbangkan supply-demand, hadapi efeknya dan bersiap. Hewan siap pergi, tapi kami tak bisa menjualnya, kami pindahkan ke tanah peternakan lainnya, ada biaya lain, tapi itu memang hak konsumen melakukan itu, Anda tak bisa menunjuk atau menyalahkan, Anda hanya harus bisa bersiap-siap," tuturnya bijak.
"Saya rasa kami telah melewati itu semua, dan kami tetap punya hubungan terdekat dengan tetangga kami, Indonesia. Yang penting kami memiliki hubungan dekat dengan tetangga terdekat kami, dan terus bekerja, itu saja. Perdagangan tetap berjalan, pengertian di antara kedua negara juga berjalan," tutur Markus dengan senyum.