Saya Tidak Bisa Melihat Angka COVID di Indonesia Seperti Dulu Lagi, Karena Sekarang Saya Melihat Wajah Mereka
Dan lebih dari itu, mungkin diam-diam kami juga merasa tidak terima telah 'dikalahkan' oleh COVID.
Sebagai orang yang selama ini merasa banyak tahu soal COVID-19 karena banyak berkomunikasi dan berdiskusi dengan pakar, dokter, dan juga warga lain yang berbagi pelajaran mengenai COVID-19, saya merasa tidak berguna dan tidak berdaya.
Ada ironi yang saya rasakan saat melihat nol kasus di Victoria saat saya harus kehilangan bapak mertua dan paman saya hanya dalam waktu sepekan.
Penularan di Indonesia terus naik, vaksinasi masih rendah
Bapak mertua dan paman saya pergi di saat situasi COVID-19 di Indonesia sedang dilanda gelombang kedua kasus COVID-19, meski beberapa ahli berpendapat bahwa sejatinya gelombang yang pertama pun belum pernah terlalui.
Beberapa pakar sebenarnya sudah mengingatkan kemungkinan terburuk yang bisa menimpa Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia jika tidak serius mengatasi pandemi.
Belakangan, epidemiolog dari Universitas Indonesia Dr Pandu Riono menggunakan istilah 'herd stupidity' untuk menggambarkan kondisi di Indonesia.
Yanuar Nugroho, sosiolog Indonesia di ISEAS yang pernah bekerja di kantor kepresidenan Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan salah satu kesalahan fatal yang dilakukan pemerintah sehingga berujung pada situasi saat ini adalah "ketiadaan persepsi dan pesan yang tunggal kepada masyarakat".
Di lapangan, berdasarkan observasi saya selama pandemi ini, memang banyak kesimpangsiuran soal informasi penting, termasuk keamanan vaksinasi untuk orang-orang yang memiliki penyakit bawaan seperti paman saya.