Sekali Tebas di Leher Darah Mengucur, Parang Diacungkan
Beberapa kerbau disumbangkan ke gereja, termasuk yang paling mahal harganya. “Termasuk kerbau saleko. Diserahkan keluarga mendiang Luther Kombong ke Gereja Toraja,” tutur Luther Lappa.
Kerbau saleko yang diserahkan ke gereja itu disebut jenis paling cantik dengan belang putih dan hitam disertai bintik-bintik hitam di sekujur tubuh kerbau. Kerbau saleko yang diserahkan ke gereja itu dikatakan paling mahal.
Didatangkan langsung dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Harganya mencapai Rp 250 juta. “Pemanfaatannya diserahkan kepada gereja. Mau dijual lagi juga boleh, uangnya bisa dipakai untuk keperluan gereja,” tambahnya.
Mantunu Tedong telah lazim dilakukan dalam prosesi kematian orang Toraja, khususnya dalam upacara Rambu Solo’. Tujuannya sebagai bentuk penghormatan kepada kerabat yang meninggal sekaligus wujud kasih sayang. Selain menjadi sarana mempererat tali persaudaraan antar-keluarga.
Dulu sebelum masyarakat Toraja memeluk agama, baik Protestan maupun Kristen, masih memilih aliran kepercayaan Aluk Todolo, Mantunu Tedong dimaknai sebagai persembahan agar mendiang sampai puya (surga bagi kepercayaan Aluk Todolo). Namun, setelah masyarakat Toraja mayoritas telah memeluk agama, Mantunu Tedong berubah maknanya.
“Mantunu Tedong dimaknai sebagai penyembahan terhadap berhala, itu sangat keliru. Kami tokoh adat bukan memaknai untuk itu, tapi untuk menyambut dan menghormati tamu,” ucap Koordinator Acara Adat Rambu Solo’ Daniel Pati Batukada.
Di halaman Tongkonan Sangtorayan, Kilometer 9, Jalan Soekarno-Hatta, Loa Janan, Kutai Kartanegara, di bawah terik matahari, Daniel memaparkan panjang lebar seputar upacara kematian Rambu Solo’ yang kerap mengundang kontroversial. Dia berusaha meluruskan pelbagai tafsir yang selama ini dianggap keliru.
Dia jelaskan, upacara kematian Rambu Solo’ jika dimaknai sebagai penyembahan berhala sangatlah keliru. Para tokoh adat yang memandu dan memimpin upacara merupakan orang-orang yang menganut agama Kristen.