Sekali Tebas di Leher Darah Mengucur, Parang Diacungkan
Dibaptis dan mengikuti jalan Yesus Kristus. Rambu Solo’ yang digelar meski dalam bingkai adat namun tetap menjalankannya sesuai tuntunan Kristen.
Misal, lanjut dia, kidung-kidung yang dinyanyikan selama upacara merupakan pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artefak yang dimunculkan di sekitar kompleks Tongkonan Sangtorayan sebagai simbol mengingat kebesaran almarhum Luther Kombong. Balutan kain merah dan hitam sebagai simbol kemuliaan dan kegelapan.
Kemudian, tanaman pohon ijuk di depan tongkonan sebagai perwujudan kekukuhan. Ijuk sebagai tanaman semua bagiannya memberikan manfaat. Persis seperti sosok mendiang Luther Kombong yang selama hidupnya memberikan banyak manfaat kepada masyarakat, khususnya di Kaltim.
Meluruskan makna itu dikatakannya penting, supaya tidak ada interpretasi penyembahan berhala. Rambu Solo’ digelar untuk melestarikan nilai luhur dan adat istiadat masyarakat Toraja, menjaga kearifan lokal, menjaga kebersamaan, mewujudkan nilai sosial, dan solidaritas.
Jadi, masyarakat Toraja terutama di tanah perantauan tidak memikirkan dirinya sendiri. Tapi juga orang lain. “Ritual ini dipertahankan, tapi diterjemahkan ulang dalam konteks Kristen. Roh adat ini adalah agama. Agamanya itu Kristen,” paparnya.
Penjelasan panjang lebar koordinator acara adat itu mengakhiri rangkaian Mantunu Tedong hari ketiga Rambu Solo’ mendiang Luther Kombong. Daging kerbau yang telah dicincang kemudian dibagikan kepada para tamu yang menyumbang kerbau.
Salah satu yang mendapat bagian adalah Isran Noor. Mantan bupati Kutai Timur itu menyumbang tiga kerbau, oleh keluarga diberikan daging kerbau sebagai ucapan terima kasih dan penghormatan. (rom/k8)