Selembar Surat untuk Masa Depan Penyakit Tropis
Oleh: Dahlan IskanKita masih harus berjuang keras untuk sampai ke sana. Tapi, setidaknya keberadaan teaching hospital sudah terwujud. Memang ada problem birokrasi yang rumit. Entah bagaimana menyelesaikannya. Ahli manajemen harus tertarik untuk memberikan ide penyelesaian benang kusut ini.
Kalau di rumah sakit umum, persoalan birokrasinya lebih sederhana: satu Kementerian Kesehatan. Komplikasinya paling hanya dengan kewenangan daerah. Tapi, teaching hospital ini menyangkut kesehatan, pendidikan, dan penelitian. Dulu terkait dengan tiga kementerian. Sekarang, mestinya, lebih sederhana. Kemenristek sudah digabung dengan pendidikan tinggi.
Saya lihat menteri kesehatan sudah banyak mencatat ketika rektor Unair yang akuntan itu, Prof Dr Moh. Nasih SE MT Ak CMA, melaporkan kemajuan-kemajuan lembaganya.
Tentu kita berharap banyak pada pusat-pusat kajian di rumah sakit pendidikan seperti itu. Misalnya, seperti yang dipamerkan Sabtu lalu, ditemukannya obat-obat untuk malaria, HIV, hepatitis C, hepatitis B, dan demam berdarah. Semua itu penyakit khas negara tropis. Dunia Barat kurang tertarik mengerahkan perhatiannya ke penyakit-penyakit tropis. Kecuali terhadap HIV yang ternyata banyak juga menyerang orang Barat.
Namun, penemuan-penemuan itu masih baru tahap awal. Masih harus dilanjutkan dengan penelitian dan uji-uji berikutnya. Dengan serius. Namun, seperti kata Prof Dr Maria Inge Lucida, ketua Pusat Penyakit Tropis Unair, di lembaga itu sulit mencari peneliti penuh waktu. Yang ada sekarang, 40 orang, semuanya kerja rangkap. "Mereka pada lari. Ya soal masa depan tadi," ujar Prof Lucida.
Padahal, hanya negara tropis seperti kita yang seharusnya lebih memperhatikan penyakit-penyakit khas negara tropis. Dengan kondisi seperti itu pun, Unair sudah bisa melahirkan peneliti stem cell yang begitu hebat. Kelas dunia.
Apalagi kalau nanti persoalan birokrasi tadi bisa diselesaikan. Hanya butuh selembar surat keputusan. Yang tidak ada risikonya.***