Seniman Bantu Pengungsi Rohingya Atasi Ketakutan terhadap Vaksin COVID-19
"Pergeseran yang kami lihat tidak selalu kuantitatif, tetapi kualitatif ... Kami telah melihat seniman kami, banyak dari mereka memiliki pengalaman traumatis, dari menjadi korban menjadi penyintas menjadi agen perubahan sosial," katanya.
Banyak mural menghiasi struktur plastik dan bambu di kamp-kamp di Cox's Bazar, sebuah kota di tenggara Bangladesh, dan banyak yang berisi referensi yang lebih luas tentang budaya Rohingya.
Salah satunya menunjukkan seekor gajah menyeberangi sungai Naf, yang harus dilalui ribuan orang Rohingya saat mereka melarikan diri dari Myanmar empat tahun lalu, dan disambut oleh seekor ayam jantan yang melambangkan Bangladesh.
Bahkan ketika para seniman bekerja dalam kemitraan dengan badan-badan PBB dan diberi tema tertentu, penduduk kamp datang dengan ide-ide untuk mural - sering setelah diskusi tentang isu-isu sosial utama dengan anggota komunitas lainnya, kata Frieder.
Sebelum pandemi, teater juga banyak digunakan di kamp-kamp untuk menyoroti keprihatinan warga.
Institut Seni Teater Bangladesh (BITA), sebuah organisasi nirlaba, menyelenggarakan lebih dari 1.200 drama tentang isu-isu termasuk perdagangan, penyalahgunaan narkoba dan pernikahan dini, dan direktur eksekutif entitas, Sisir Dutta, mengatakan mereka telah meningkatkan kesadaran.
"Ambil kasus perdagangan manusia. Awalnya banyak remaja yang tidak tahu istilahnya apalagi bahayanya. Tapi ketika mereka bisa memvisualisasikannya, mereka mengerti bagaimana calo bekerja dan bagaimana nyawa mereka bisa terancam," katanya.
Banyak proyek berbasis seni berkurang selama pandemi, kata Donovan, tetapi dia menambahkan bahwa UNHCR bertujuan untuk meningkatkan proyek seni yang dipimpin masyarakat di akhir tahun dalam kemitraan dengan kelompok-kelompok seperti Artolution.