Sikap PAN Keras, tetapi Tetap Setuju RUU Cipta Kerja Jadi UU
2. Dari sektor kehutanan, Fraksi PAN menilai bahwa aturan yang ada dalam UU Omnibus Law masih mengesampingkan partisipasi masyarakat, terutama dengan penghapusan izin lingkungan, penyelesaian konflik lahan hutan, masyarakat adat dan perkebunan sawit, serta tumpang tindih antara areal hutan dengan izin konsesi pertambangan.
3. Dari sektor pertanian, Fraksi PAN mendorong pemerintah agar keran impor pangan dari luar negeri tidak dibuka terlalu lebar. Pemerintah harus memproteksi hasil produksi pangan lokal untuk meningkatkan daya saing petani.
Adalah fakta, bahwa tanpa membuka keran impor saja, daya saing komoditas pertanian kita sulit dikendalikan. Fraksi PAN menilai bahwa pengendalian harga komoditas pertanian yang dapat melindungi konsumen dan petani sekaligus, belum menjadi agenda dalam RUU Ciptaker.
4. Fraksi PAN menilai, ketentuan dalam Pasal 49 tentang Jaminan Produk Halal, khususnya dalam Pasal 4A bahwa kewajiban bersertifikat halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang didasarkan atas pernyataan pelaku UMK (self declare), sekalipun dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH, berpeluang besar melahirkan praktik moral hazard yang dilakukan pelaku UMK.
Self declare ialah pengakuan sepihak, yang belum tentu bisa diverifikasi kebenarannya. Dalam konteks ini, semestinya RUU Ciptaker ini bisa mengatur lebih spesifik terkait dengan labelisasi produk halal melalui Lembaga yang resmi dan disetujui.
5. Dalam bidang ketenagakerjaan, Fraksi PAN belum melihat penjelasan lebih khusus mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing. Agar tidak menimbulkan multiinterpretasi, sebaiknya hal itu bisa dicantumkan secara spesifik dalam UU ini.
6. Fraksi PAN menilai, penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65 dalam UU Ketenagakerjaan yang memuat pengaturan mengenai dapatnya perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis, dapat berimplikasi pada dimungkinkannya semua jenis pekerjaan untuk diborongkan tanpa adanya batasan tertentu. Dengan demikian akan melahirkan banyak pekerja kontrak yang tidak terproteksi dengan fasilitas-fasilitas yang telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan.
Fraksi PAN menilai bahwa perusahaan-perusahaan nantinya bisa secara membabi buta menggunakan pekerja kontrak. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”