Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Simak, Saran Fahira Soal Polemik Waktu Pelaksanaan Pilkada Serentak

Senin, 01 Februari 2021 – 07:35 WIB
Simak, Saran Fahira Soal Polemik Waktu Pelaksanaan Pilkada Serentak - JPNN.COM
Senator dari DKI Jakarta Fahira Idris merespons polemilk pelaksanan Pilkada 2022 dan tahun 2023 berbarengan dengan Pemilu 2024. Foto: Dok. DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Di tengah bergulirnya rencana revisi Undang-Undang (UU) Pemilu, rangkaian pelaksanaan pilkada serentak kembali menjadi polemik dan diskursus publik. Baik Pemerintah, partai politik, dan publik memiliki pandangan yang berbeda-beda menyikapi wacana normalisasi pilkada pada 2022 dan 2023.

Ada yang mendukung pilkada digelar pada 2022 dan 2023 sesuai masa berakhirnya jabatan kepala daerah terpilih pilkada 5 tahun sebelumnya, tetapi ada juga yang berpandangan dan menginginkan Pilkada 2022 dan 2023 disatukan penyelenggaraannya pada 2024 atau beberapa bulan setelah Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 digelar. 

Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, berbagai perbedaan pandangan dan polemik soal normalisasi Pilkada 2022 dan 2023 dan penyatuan pelaksanaan pilkada pada 2024 hendaknya dibingkai dari sisi kualitas dan efektivitas.

“Pihak-pihak yang menginginkan pilkada digelar di 2024 atau di tahun yang sama dengan pileg dan pilpres harus mempunyai argumen yang objektif, rasional dan konsisten bahwa jika pileg, pilpres, dan pilkada digelar di tahun yang sama, efektivitas dan kualitasnya lebih baik dibanding jika digelar pada 2022 dan 2023. Termasuk sejauh mana kesiapan penyelenggara (KPU, Bawaslu, DKPP), kesiapan pengamanan, anggaran, dan lainnya,” ujar Fahira Idris dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/2/2021).

Selain itu yang perlu diperhatikan dan dijelaskan adalah jaminan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di ratusan daerah yang harus dipimpin oleh pejabat sementara bila pilkada dilakukan secara serentak pada 2024. Pejabat sementara harus menggantikan kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2022 dan 2023. Sebab mereka harus mengisi kekosongan pemimpin daerah hingga pilkada dilakukan serentak pada November 2024.

Argumen yang objektif, rasional dan konsisten juga harus menjadi acuan pihak-pihak yang mendukung bahwa normalisasi pilkada pada 2022 dan 2023 atau sesuai siklus lima tahunan serta setuju pilkada serentak nasional akan digelar pada 2027 akan lebih efektif dan berkualitas dibanding jika harus dipaksa disatukan pada 2024.

“Saya mengamati persoalan dan polemik jadwal pilkada ini sudah merambat ke mana-mana terutama dikaitkan dengan kontestasi di 2024. Oleh karena itu, efektivitas dan kualitas harus jadi acuan,” tegas Fahira.

Menurut Fahira, kelompok yang yakin pilkada digelar 2024 atau di tahun yang sama dengan pileg dan pilpres harus mampu meyakinkan publik bahwa ini adalah pilihan yang rasional, karena jika tidak objektif maka akan mendapat penolakan dari publik. Demikian juga sebaliknya, mereka yang mendukung normalisasi pilkada juga paparkan alasan yang objektif.

Rencana revisi Undang-Undang (UU) Pemilu, rangkaian pelaksanaan pilkada serentak kembali menjadi polemik dan diskursus publik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News