Simulasi Penyoblosan Pilkada Calon Tunggal, Pemilih Bingung
Alasan utama dilakukan simulasi pemilihan dengan paslon tunggal adalah regulasi yang secara pasti dibenarkan tentang paslon tunggal baru ada pada tahun 2017 menurut UU No. 10 Tahun 2016.
Pada tahun 2015 sama sekali belum ada UU yang mengatur tentang paslon tunggal, maka masih tergantung pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 100 Tahun 2015.
Maka dalam pilkada serentak tahap II ini diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 dengan pola desain surat suara yang berbeda dengan tahun 2015 lalu.
Pada tahun 2015 berdasarkan putusan MK, diformulasikan oleh KPU dalam rangka format surat suara berupa pernyataan bagi pemilih agar pemilih menyatakan setuju atau tidak meskipun pengungkapanya berbentuk pencoblosan.
Sehingga surat suara dalam pilkada serentak pertama tidak dicantumkan foto pasangan calon, yang ada hanya dua kolom kosong dengan satu kolom kosong berisi pernyataan setuju dan yang satunya lagi tidak setuju.
Pebedaanya dengan UU No. 10 sebagai aturan terbaru sebagaimana terkandung dalam Undang-undangnya, bahwa surat suara harus berisi foto dan nama pasangan calon.
Kemudian kolom yang satu dikosongkan bagi pemilih yang tidak menghendaki pasangan calon tunggal.
Dalam simulasi tersebut pemilih diberi pemahaman bahwa kolom kosong juga memiliki makna dan maksud untuk pemilih yang tidak memilih paslon tunggal dapat menyalurkan aspirasi ketidak setujuanya dengan cara mencoblos kolom kosong.