SKL BLBI Harus Dihormati
Agar tidak terjadi salah kaprah dalam penegakan hukum, Deni mengajak semua pihak untuk mengetahui secara benar duduk perkara persoalan BLBI yang bermula dari krisis keuangan 1997. Krisis dahsyat yang baru pertama kali terjadi di Indonesia itu membuat pemerintah berada dalam kesulitan.
Dimana pemerintah mengalami depresiasi rupiah hingga mencapai lebih dari 700 persen dan membuat para pengusaha tiba-tiba terbebani oleh utang yang membengkak sampai 7 kali lipat lebih.
Hal itu demi menyelamatkan sistem pembayaran nasional, atas dorongan IMF pemerintah menyuntikan dana BLBI kepada perbankan nasional untuk memperbaiki kondisi perekonomian yang sempat mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, minus 14 persen.
Para pemegang saham yang banknya menerima BLBI, pemerintah memutuskan untuk menyelesaikan kewajibannya melalui penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement). Pilihan ini ditempuh pemerintah karena secara yuridis posisi negara lemah. Berdasarkan Undang-undang Perseroan Terbatas, tanggung jawab pemegang saham hanya terbatas pada modal yang disetorkan.
Tanggung jawab pemegang saham itu pun harus dibuktikan melalui pengadilan yang prosesnya memakan waktu yang lama. Terlebih lagi terjadinya hal ini disebabkan oleh krisis yang merupakan force majour, tidak ada pihak yang dapat disalahkan.
"Dari sini terlihat bahwa out of court settlement bukan dimintakan oleh para pemegang saham, tetapi ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan, kemudian pemerintah meminta para pemegang saham untuk menyerahkan aset agar bisa memaksimalkan pengembalian uang negara," kata Deni.
Ketika menilai aset, para pemegang saham tidak memiliki hak untuk menentukan perusahaan penilai. Pemerintah yang menetapkan perusahaan penilai yang berasal dari dalam dan luar negeri.
"Bahkan ketika itu bukan hanya aset yang diminta, tetapi diharuskan juga memberikan uang tunai" tambah Deni.