SKL Perkara Perdata, Tidak Bisa Dipidana
Pada bagian lain, Kwik menceritakan tentang proses penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi para obligor yang ternyata dilakukan melalui serangkaian pembahasan yang melibatkan sejumlah pejabat. Saat itu Kwik menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (periode 9 Agustus 2001 - 20 Oktober 2004).
Menurut Kwik, pertemuan pertama berlangsung di rumah Presiden Megawati Soekarnoputri, Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat, dihadiri oleh Menko Ekuin Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, dan Jaksa Agung MA. Rahman. Hasilnya: disepakati penerbitan SKL untuk debitur kooperatif, meskipun Kwik berposisi menolak SKL. Pertemuan kedua di Istana Negara. Pertemuan ketiga di Istana Negara dihadiri pejabat yang sama plus Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra.
“Hampir semua setuju SKL kecuali saya. Yang agak netral Bambang Kesowo (Menteri Sekretaris Negara),” kata Kwik. Berkaitan dengan Sjamsul Nursalim, menurut Kwik, pertemuan tersebut tidak membahas khusus.
Jadi, lanjut Kwik, ketua BPPN menandatangani SKL itu berdasarkan pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dan keputusan-keputusan KKSK, terutama keputusan 17 Maret 2004. “Tanda tangan ketua BPPN atas dasar Inpres hingga keputusan-keputusan KKSK, apabila semua kewajiban dipenuhi,” kata Kwik.
Dalam persidangan, Syafruddin mengatakan semua yang ditugaskan oleh KKSK kepada dirinya selaku ketua BPPN sudah dilaksanakan serta diverifikasi oleh tim hukum dan KKSK. “Kami mengambil alih 12 perusahaan (milik Sjamsul Nursalim). Suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh ketua BPPN mana pun sejak zaman Gus Dur,” katanya.
Aset Dijual Murah
Saksi selanjutnya adalah Rizal Ramli yang menjabat Menko Ekuin periode 23 Agustus 2000 - 12 Juni 2001 dan Menteri Keuangan periode 12 Juni 2001 - 9 Agustus 2001. Rizal menekankan pada kerugian negara yang jauh lebih besar ketika aset petambak Dipasena dijual murah oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2007.
Menurut Rizal, kewajiban Sjamsul Nursalim sebesar Rp28,5 triliun termasuk utang petambak. BPPN mengusulkan restrukturisasi. Utang petambak dikurangi menjadi Rp100 juta/orang sehingga total 11 ribuan petambak menjadi Rp1,35 triliun.
“Tahun 2005, nilai aset yang diserahkan Rp4,5 triliun. Aneh bin ajaib, tahun 2007 dijual Rp200 miliar (oleh Menkeu Sri Mulyani). Ini kerugian yang jauh lebih besar,” tegas Rizal.(jpnn)