Soesilo Toer Doktor Pemulung Sampah, Dituduh PKI, Diarak (5)
”Setiap tahun ada sekitar 1,5 juta manusia yang lahir sebagai ateis. Percaya atau tidak?” tanyanya. ”Semua manusia yang baru lahir tentu belum bertuhan. Mereka kemudian mencari Tuhan,” katanya.
Soes tidak percaya ada orang ateis di Indonesia. Termasuk dirinya dan Pram sekalipun. Perhatikan saja semua orang pernah berdoa. Mereka menyebut Tuhan dalam doanya.
”Oh Tuhan, kalau saya masih dibutuhkan, beri saya hidup. Kalau sudah tidak dibutuhkan, maka cabut nyawa saya sekarang.” Dia mengucapkan doanya itu di depan wartawan Jawa Pos Radar Kudus. ”Saya berdoa menggunakan bahasa Indonesia,’’ tambahnya.
Baginya, soal agama itu tergantung penafsiran orang. ”Saya agamanya apa?” dia malah bertanya. Wartawan Jawa Pos Radar Kudus menggeleng-geleng kepala. Bagi Soes, agama bukan perkara pakaian. Bukan pula perkara pemikiran. Tetapi hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. Sifatnya intim.
Lantas agama Soes sebenarnya apa? Dia tertawa. Istrinya yang mendampingi hanya diam. Di KTP agama Soes tertulis Islam. ”Itu yang menulis kan petugas. Biar saja,” tutur lelaki yang pernah menjadi rektor di Universitas Bhakti Pertiwi, Bekasi, 1998.
Dia tidak mempermasalahkan agama di KTP itu meskipun lebih cocok Budha. Baginya ajaran Dharma sejalan dengan kehidupannya. Hal itulah yang memengaruhi perilaku spiritualnya. ”Kalau Pram Islam asli. Nah, kalau saya Islam turunan atau Islam KTP-lah,” terangnya cengengesan.
Istri Soes, Suratiyem yang saat itu memakai kerudung cokelat susu hanya tersenyum. Dia memastikan ateis itu hanya perkara sudut pandang orang. Meski awalnya sempat tidak terima, dia akhirnya terbiasa dan menganggap lumrah. Sesekali Suratiyem ikut pengajian kalau mendapat undangan dari tetangganya.
Dulu, Soesilo Toer sempat tidak hadir dalam acara tahlilan yang digelar tetangganya. Makanya dikira ateis. Padahal tidak. ”Sekarang sih tidak dibilang ateis lagi. Sebab, kadang-kadang ikut tahlilan. Ikut kumpul tetangga juga,” ungkap perempuan asli Sleman ini. (Bersambung/aji)