ST Burhanuddin: Jaksa Harus Menggunakan Hati Nurani di Setiap Pengambilan Keputusan
Oleh karena itu, Burhanuddin menekankan kewenangan jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan harus dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, kearifan lokal, serta nilai-nilai moral, etika, dan keadilan dalam masyarakat.
Pasalnya, hal itu memiliki arti penting dalam rangka mengakomodasi perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat serta menuntut adanya perubahan mindset, perilaku, dan kepastian hukum yang diterima oleh masyarakat.
Hal serupa juga berlaku ketika jaksa penuntut umum berada dalam posisi harus menyatakan sikap banding atau tidak terhadap sebuah vonis.
Mereka dihadapkan pada kewajiban mempertimbangkan dinamika hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat selama ini, serta menggunakan standar dan syarat-syarat ketat tertentu yang sangat ketat.
Perhatian dan respons besar masyarakat terhadap perkara yang melibatkan Ferdy Sambo, misalnya, harus dikaji sejauh mana reaksi-reaksi kecewa maupun puas atas vonis persidangan mewakili keadilan substantif.
Kemudian, kecermatan yang sama juga perlu dijaga dalam pertimbangan-pertimbangan penerapan restorative justice, mengingat respons serta reaksi masyarakat secara luas dan masif juga bisa dipengaruhi berbagai informasi di beragam platform media.
Oleh karena itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan bahwa berdasarkan asas dominus litis atau pengendali perkara sejak hulu hingga hilir, seorang jaksa harus dapat beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat, mengakomodasi kepentingan masyarakat, dan menjadi solusi berbagai persoalan hukum di masyarakat.
"Sehingga jaksa yang modern di masa yang akan datang bukan saja sebagai jaksa humanis dari segi penegakan hukum, tetapi dapat menjadi bagian dari jawaban atau solusi persoalan-persoalan hukum di masyarakat," pungkas Burhanuddin. (antara/jpnn)