Sultan Qaboos bin Said, Bapak Pembangunan Oman yang Menggulingkan Ayahnya Sendiri
Inggris, dengan kekuatan yang cukup besar saat itu atas penguasa Teluk, membantu Qaboos menggulingkan ayahnya dalam kudeta istana pada 23 Juli 1970. Sultan Said terpaksa turun tahta setelah beberapa perlawanan dan menghabiskan dua tahun terakhir hidupnya di pengasingan di Inggris.
Sultan baru tersebut, yang saat itu baru berusia 30 tahun, mewarisi sebuah negara dengan sedikit infrastruktur, sedikit pegawai yang terampil, dan tidak ada satu pun lembaga dasar pemerintahan.
Qaboos secara bertahap menegaskan otoritasnya dengan mengambil alih peran perdana menteri dan kementerian keuangan, pertahanan dan urusan luar negeri, yang dia pertahankan.
Dia memerangi pemberontak Dhofar dengan bantuan dari Inggris, Yordania dan Iran. Melalui kemajuan militer dan dengan menawarkan pekerjaan pemerintah pada pemimpin pemberontak, Qaboos mengakhiri pemberontakan dalam waktu enam tahun setelah menjabat.
Revolusi Islam Iran tahun 1979 mengarahkan perhatian Qaboos ke Selat Hormuz, lokasi hampir seperlima dari minyak global melintas. Dia berjanji untuk menjaga selat itu tetap terbuka dan pada tahun 1980 menandatangani perjanjian untuk membiarkan pasukan A.S. menggunakan fasilitas Oman untuk keadaan darurat.
Pada tahun 1981, Qaboos mulai memperluas partisipasi politik dan pemilihan umum bebas untuk dewan penasihat yang diadakan pada tahun 2003.
Ketika protes Arab Spring mulai mengancam, dan akhirnya menjatuhkan pemimpin di Tunisia dan Mesir pada tahun 2011, Qaboos mencatat dan menjinakkan potensi perpecahan di negaranya dengan janji-janji pekerjaan dan reformasi.
Dia memecat lebih dari sepertiga kabinet, menciptakan ribuan pekerjaan di sektor publik dan membayar dividen kepada para penganggur yang menurut IMF berjumlah sekitar seperempat dari total populasi Oman.