Survei Jelang Pilkada Makassar Belum Tentu jadi Tolok Ukur Kemenangan Paslon
jpnn.com, MAKASSAR - Hasil survei yang tinggi, tidak menjadi jaminan bahwa paslon bisa memenangkan pilkada.
Di sejumlah pilkada, masyarakat telah disuguhi fakta bahwa hasil survei kerap berbeda atau tidak valid dengan hasil akhir di tempat pemungutan suara (TPS).
Hal ini diungkapkan pakar politik dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr Syamsir Rahim. Dia mencontohkan di Pilwali Makassar 2013 lalu, sejumlah lembaga survei mengunggulkan Supomo Guntur - Kadir Halid, tetapi yang memenangkan pertarungan adalah Danny Pomanto - Syamsul Rizal.
"Kemudian di Pilkada Takalar, hampir semua lembaga survei memenangkan petahana, tapi yang menang adalah rivalnya, Syamsari Kitta - Achmad Deng Serre. Hal yang sama juga terjadi di Pilkada Wajo. Pasangan Baso Rahmanuddin-Anwar Sadat ketika itu selalu merajai hasil survei, tetapi yang menang Pilkada adalah Amran Mahmud - Amran," kata Syamsir di Makassar pada Sabtu (5/12).
Syamsir yakin hasil survei yang muncul akhir-akhir ini dalam Pilwali Makassar adalah hanya untuk menggiring opini publik. Tujuanya tidak lain agar masyarakat mau menjatuhkan pilihannya pada paslon yang hasil surveinya tinggi.
"Saya berharap, hasil-hasil survei yang dikeluarkan sejumlah lembaga beberapa hari terakhir, bisa dipertanggungjawabkan. Mulai dari metodologi survei, hingga pengambilan sampelnya. Jumlah respondennya juga harus jelas, dan harus mewakili keinginan masyarakat," terangnya.
"Survei yang mengada-ada, akan membuat masyarakat akhirnya antipati. Bahkan ketika kemudian ada hasil survei yang valid, masyarakat bisa tidak percaya lagi. Apalagi, belakangan publik disuguhi dengan hasil survei yang berbeda-beda," imbuh Syamsir.
Membaca dinamika politik di Makassar saat ini, Syamsir Rahim yakin, hasil Pilwali Makassar akan jauh berbeda dengan hasil survei beberapa lembaga selama ini. Apalagi sejauh ini, belum ada kandidat yang buang handuk atau merasa pesimistis.