Syafruddin Beberkan Pendekatan untuk Penyelesaian Dipasena
jpnn.com, JAKARTA - Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di bawah kepemimpinan Syafruddin Arsyad Temenggung mengambil pendekatan menyehatkan ekonomi dan dunia usaha berkaitan dengan persoalan petani tambak Dipasena. Salah satu tindakan yang diambil adalah melakukan revitalisasi aset.
“Yang paling penting itu adalah bahwa message yang dimintakan kepada kami dari pimpinan KKSK dan Ibu Presiden (Megawati Soekarnoputri), ini sudah menimbulkan kerusuhan sosial, jadi petani plasma ini harus segera dibenahi, dan salah satu cara kami membenahi petani petambak itu adalah dengan kami melakukan tindakan revitalisasi, mencarikan modal kerja, dan seterusnya,” kata Syafruddin ketika memberikan keterangan sebagai terdakwa dalam persidangan perkara dugaan korupsi berkaitan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi obligor Sjamsul Nursalim, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (23/8/2018).
Syafruddin menjelaskan kerusuhan sosial berlangsung sejak tahun 1999-2001. Pokok masalahnya adalah mengenai utang petambak. Bahkan, kata dia, saat dirinya menjabat ketua BPPN mulai 22 April 2002, kerusuhan itu masih ada.
“Terus terang saja, pada waktu kami menjabat ketua BPPN, tiga bulan pertama itu seminggu sekali kantor kami dikepung, Istana dikepung, DPR dikepung. Mereka (petambak) minta segera diselesaikan, ada kepastian dari pemerintah,” ujarnya.
Menurut Syafruddin, saat menghadapi situasi kala itu, acuan yang mengikatnya adalah Keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) tanggal 29 Maret 2001, semasa Rizal Ramli menjabat ketua KKSK. Mengenai utang petambak, diputuskan oleh KKSK bahwa maksimal totalnya adalah Rp 1,1 triliun atau setara Rp 100 juta/petambak yang jumlahnya sekitar 11 ribu orang.
Pada persidangan Kamis, 5 Juli 2018, Rizal Ramli menerangkan kewajiban Sjamsul Nursalim sebesar Rp 28,5 triliun termasuk utang petambak. BPPN lantas mengusulkan restrukturisasi. Utang petambak dikurangi dari Rp 135 juta/orang menjadi Rp 100 juta/orang sehingga total 11 ribuan petambak menjadi Rp 1,1 triliun. Pada persidangan yang sama, mantan Menteri Keuangan Boediono menjelaskan,
“Pada pokoknya petambak mempunyai kewajiban penyelesaian utangnya, tapi kemudian ada usulan BPPN agar diperingan bebannya. Saya lupa angkanya berapa, tapi tujuannya untuk membantu petambak. Karena saya ingat dan sampaikan, kalau ini semua sesuai aturan tentu ini sesuatu yang baik.”
Syafruddin menegaskan, mekanisme penyelesaian kewajiban petambak tidak bisa dilepaskan dari ketentuan keperdataan dalam Master of Settlement and Acquisition Agreement/MSAA yang dibuat pada 1998. Posisi aset Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) per 21 Agustus 1998 sebesar Rp47 triliun.