Syafruddin Beberkan Pendekatan untuk Penyelesaian Dipasena
Sementara itu kewajibannya juga sebesar Rp47 triliun. Jumlah aset yang digunakan untuk mengurangi kewajiban BDNI sebesar Rp18 triliun. Sehingga sisa kewajiban pemegang saham BDNI sebesar Rp 28 triliun, yang dibebankan pembayarannya dengan cara pembayaran tunai Rp 1 triliun dan penyerahan saham 12 perusahaan setara nilai Rp27 triliun.
Mengenai kewajiban petambak, tegas Syafruddin, terdapat penjaminan dari perusahaan inti yakni PT Dipasena Citra Darmadja (DCD). Hal inilah yang menyebabkan kewajiban petambak itu dihapusbukukan karena sudah ada penjaminan dari inti. Jadi, dari total kewajiban sebesar Rp 3,9 triliun, sebesar Rp 1,1 triliun dikenakan kepada para petambak, dan Rp 2,8 triliun kepada perusahaan inti.
Jaksa bertanya apakah penagihan kepada perusahaan inti sudah dilakukan?
“Jadi step pertama yang kami lakukan adalah kita harus ambil Intinya. Sebab kalau intinya belum diambil, ini yang terjadi di zaman sebelum-sebelum kami, ketua-ketua BPPN berkomunikasi untuk meminta penjaminan, mereka selalu tidak mau, tapi pada waktu itu kita sudah ambil, maka yang harus kita lakukan itu adalah kita harus sehatkan yang namanya Dipasenanya supaya dia bisa membayar penjaminannya, dan kita harus sehatkan petambaknya supaya dia bisa membayar utangnya,” jawab Syafruddin, sambil menambahkan, proses penyehatan perusahaan inti dan petambak dilakukan sejak 2003.
Langkah penjaminan itu, kata dia, sama sekali tidak mengurangi valuasi dari perusahaan Dipasena, yang nilainya Rp19 triliun, menurut penilaian Ernst and Young. Secara akuntansi, ini persoalan keseimbangan antara aktiva-pasiva.
“Neraca Dipasena itu tidak akan berkurang nilainya karena ada penjaminan. Nilainya itu akan kurang kalau Dipasena itu tidak jalan. Ini kan masalah aktiva-pasiva. Ada satu perusahaan, dia menjamin, tapi kalau dia keluarkan uang jaminan Rp100 juta, sebagai penjaminnya dia dapat aset yang dia jamin, nilainya 120 persen. Jadi sebetulnya tidak ada pengurangan,” kata Syafruddin.
Kemudian Syafruddin menyatakan pengurangan nilai dari suatu perusahaan itu terjadi kalau perusahaan itu macet, tidak jalan, tidak beroperasi, sehingga dia tidak menghasilkan. “Karena itu, dia tidak akan bisa membayarkan kewajibannya,” kata Syafruddin.
Langkah yang diambilnya itu, kata Syafruddin, terbukti telah membawa perubahan bagi operasional perusahaan dan nasib para petambak, karena proses produksi bisa berjalan lagi. “Pada akhirnya seperti kita lihat dari keterangan para petambak di sini (persidangan), mereka dengan mantap berkata sebagai petambak yang mandiri,” ujarnya.(jpnn)