Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Ribuan Sarjana Kesehatan jadi Pengangguran, Begini Alasannya

Senin, 18 Maret 2019 – 15:11 WIB
 Ribuan Sarjana Kesehatan jadi Pengangguran, Begini Alasannya - JPNN.COM
Sekjen Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia (HPTKes Indonesia) Gunarmi (jilbab merah) bersama perwakilan mahasiswa saat mengadu ke DPR, Senin (18/3). Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ratusan mahasiswa dan dosen dari berbagai Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) maupun perguruan tinggi yang memiliki program studi (prodi) kesehatan melakukan aksi damai di DPR RI, Senin (18/3).

Aksi yang dimulai sejak pukul 08.00 WIB ini menuntut Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan dicabut.

Menurut Sekjen Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia (HPTKes Indonesia) Gunarmi, Permenristekdikti itu berdampak luas. Di mana ada 300 ribu sarjana kesehatan (perawat, bidan, nurse) jadi pengangguran karena tidak lulus uji kompentensi yang dilakukan panitia seleksi nasional. Padahal sebelumnya, lulusan sarjana kesehatan bisa bekerja dan buka praktik sendiri.

“Banyak sarjana kesehatan ini sudah ikut tes kompetensi sebanyak 11 kali. Namun, mereka berkali-kali gagal. Padahal setiap kali tes harus mengeluarkan uang Rp 225 ribu untuk lulusan D3 dan Rp 275 ribu untuk S1,” ungkap Gunarmi yang ditemui di sela-sela aksi damai.

Dampak lainnya dari Permenristekdikti 12/2016 adalah akan banyak sarjana yang tidak bisa diwisuda bila gagal dalam tes kompetensi. Tidak hanya bisa buka praktik, ijazah juga tak akan dikantongi.

“Bisa dibayangkan bagaimana beban orang tua mahasiswa yang sudah mengeluarkan dana puluhan juta tapi anaknya tidak bisa diwisuda dan tidak bekerja sesuai keahlian," ujarnya.
Gunarmi mengungkapkan, ada banyak sarjana kesehatan yang terpaksa bekerja jadi sales, pelayan toko maupun restoran. Mereka tidak bisa bekerja sesuai keahliannya di rumah sakit, puskesmas, buka praktik, dan lainnya.

Permenristekdikti 12/2016 mengharuskan uji kompetensi yang dilakukan Panitia Uji Kompetensi Nasional. Panitia Uji Kompetensi Nasional terdiri atas unsur Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kesehatan, Perguruan Tinggi, dan Organisasi Profesi/lembaga pelatihan/lembaga sertifikasi. Kelemahannya, perguruan tinggi diberikan hak untuk memberikan penilaian terhadap mahasiswa.

“Ujian nasional saja tidak sepenuhnya ditentukan oleh Kemendikbud, tapi sekolah diberikan kewenangan juga. Kok uji kompetensi malah Panitia Nasional yang tidak tahu jelas kemampuan mahasiswa kami diberikan kewenangan penuh. Kami hanya disuruh teken hasil uji kompetensinya," kritiknya.

Menurut Gunarmi, banyak sarjana kesehatan ini sudah ikut tes kompetensi sebanyak 11 kali. Namun, mereka berkali-kali gagal. Padahal setiap kali tes harus mengeluarkan uang Rp 225 ribu untuk lulusan D3 dan Rp 275 ribu untuk S1.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News