Tak Masukkan di Hati biar Tidak Gila
Mulai sang wakil wali kota Surabaya saat itu, Bambang D.H., Sekjen DPP PDIP, tokoh gaek PDIP Jatim Sutjipto, bahkan Ketua Umum DPP PDIP Megawati. Sementara di eksternal, banyak pihak yang berkepentingan melihat dia jatuh.
Basuki sempat berusaha melakukan langkah-langkah politik penyelamatan. Dia memperkuat barisan di tingkat PAC. Hingga akhirnya, dia menang di Konfercab PDIP Surabaya 1999.
Salah satu upayanya adalah mengangkat Whisnu Sakti Buana, putra Sutjipto, sebagai wakil ketua DPC. Kini Whisnu adalah ketua DPC sekaligus Wawali Surabaya. Tapi, upaya politik Basuki kandas.
”Saat itu saya sudah tahu saya bakal tamat. Kepengurusan saya di PDIP tidak akan berumur panjang,” ucapnya. Apalagi, beberapa kali dalam acara DPC, Sutjipto yang diundang tidak pernah datang. Belum lagi, SK-nya tidak keluar-keluar.
Karena sudah merasa tidak ada lagi harapan, dia akhirnya memilih langkah radikal. Dia melawan. Bahkan, dia pernah mengirimkan massa ke Jakarta untuk berunjuk rasa menentang Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.
Perhitungannya sederhana dan tidak dilandasi masalah sakit hati. ”Saya hanya ingin menunjukkan bahwa saya punya kualitas dan kompetensi di bidang politik. Kalau saya hanya diam saja, tidak melawan, maka saya tidak akan dilihat orang,” tambahnya.
Situasi politik di Surabaya berkembang cepat dan ke arah yang buruk bagi Basuki. Dia dilengserkan. Lalu, pada Januari 2003 dia ditangkap karena kasus dugaan korupsi senilai Rp 2,7 miliar di DPRD Surabaya. ”Saat itu saya baru saja seminggu pulang dari naik haji,” kata pria yang sehari-hari merupakan makelar tanah besar dan punya banyak angkot tersebut.
Ketika itu Basuki sangat terpukul. Karir politiknya yang moncer, yang sudah diidam-idamkan sejak SMA, hancur begitu saja. Semuanya. Sudah dipecat dari jabatan ketua DPC PDIP Surabaya, dilengserkan dari ketua DPRD Surabaya, masuk penjara pula karena kasus korupsi. Hal terburuk yang paling ditakuti seluruh politisi.