Tak Peduli meski Difitnah Cari Keuntungan Pribadi
”Di sana saya belajar teori pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi. Bagaimana memberdayakan masyarakat dan bagaimana memetakan potensi sosial ekonomi masyarakat,” ungkap perempuan berjilbab tersebut.
Tatiek menggunakan desanya sendiri untuk objek riset saat mengikuti pelatihan. Sebab, warga desanya gemar berbisnis, namun tidak mampu mengembangkan bisnisnya. Selain itu, dia menemukan banyak persoalan di industri-industri rumahan di kampungnya. Misalnya, ada pabrik selai kelapa, tapi air kelapanya bau dan dagingnya tidak termanfaatkan. Padahal, itu bisa dibikin nata de coco.
Mayoritas juga terkendala pemasaran produk. Karena itu, keuntungan yang diperoleh tidak maksimal. Akibatnya, usaha yang digeluti warga tidak maju-maju.
Karena problem-problem itulah, perempuan 39 tahun tersebut mulai bergerak. Awalnya dia merangkul ibu-ibu di kampungnya. Apalagi, dia mengetahui banyak perempuan di kampungnya yang menikah muda dan tak jarang menjadi janda di usia belia. Karena itu, Tatiek pun mesti memutar otak untuk memberdayakan mereka.
”Saya ingin mereka punya skill sehingga mampu meningkatkan taraf hidup. Selama ini mereka sudah susah-susah membuat kerajinan, tapi penghasilan yang diperoleh tak seberapa,” ujar ibu tiga anak itu.
Akhirnya Tatiek merelakan salah satu lahannya untuk uji coba budi daya bambu. Dari lahan itu, ibu-ibu pembuat besek bisa memanfaatkan bambu dengan gratis. Selain itu, alumnus Fakultas Pertanian IPB tersebut membikin sejumlah pelatihan.
”Saya bikin pelatihan nugget tempe dan sulam pita. Setiap bulan saya keliling ke RT-RT untuk memberikan pelatihan. Saya juga membentuk kelompok pinjaman lunak,” ungkap istri Herman Budianto itu.
Pelatihan tersebut terus berlanjut dan makin banyak peminatnya. Tepat pada bulan Ramadan setahun berikutnya, Tatiek menggelar kegiatan pelatihan yang diberi nama Ngabuburit Kreatif di kediamannya. Pelatihan berlangsung sekitar tiga pekan. Peminatnya mulai meluas, tidak hanya dari Desa Tegalwaru.