Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Tak Tahu Kapan Lahir, Bingung saat Isi Kolom Agama

Selasa, 20 Februari 2018 – 07:26 WIB
Tak Tahu Kapan Lahir, Bingung saat Isi Kolom Agama - JPNN.COM
Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Prof Zudan Arif Fakrulloh saat penyerahan dokumen penduduk masyarakat Baduy. Foto: Juneka/Jawa Pos

jpnn.com, LEBAK - Sejumlah pria warga Baduy itu duduk menunggu giliran di beranda rumah panggung kayu. Tidak banyak kata yang terucap di antara mereka. Nyaris hening. Mereka antre untuk perekaman data e-KTP.

Juneka Subaihul Mufid, Lebak

Di rumah singgah Desa Kanekes, Lebak, Banten, Senin lalu (12/2) para pria yang berpakaian serbahitam dan mengenakan lomar (pengikat kepala) tersebut tampak sabar. "Mereka sabar menunggu,” ujar Parjiyo, petugas dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.

Ada yang berasal dari Baduy Luar, sebagian merupakan warga Baduy Dalam. Ada 24 petugas yang melayani mereka. Pelayanan perekaman dan pencatatan e-KTP itu dilakukan sejak Senin (12/2) hingga Senin (19/2) kemarin.

Hasilnya, selama sepekan jemput bola tersebut, tercatat ada 1.327 e-KTP, cetak ulang 458 unit, dan terdistribusikan 1.785 unit. Ada pula perekaman baru 337 kartu keluarga (KK) dan pencetakan ulang 337 KK. ”Hampir tiap hari lembur sampai pukul 2 pagi untuk pencetakan langsung,” imbuh Parjiyo.

Partisipasi masyarakat Baduy di Kanekes dalam perekaman data e-KTP memang termasuk yang paling rendah. Ada pemicu yang berupa latar belakang budaya. Juga, e-KTP tak dipandang sebagai kebutuhan. Mereka tidak butuh akta kelahiran, misalnya, untuk kebutuhan sekolah anak.”Dulu masyarakat suku Baduy tidak mau disensus. Takut dijual,” ungkap Kepala Seksi Pemerintahan Desa Kanekes Sarpin.

Tapi, sebagai warga negara yang sah, mereka tentu harus tercatat secara administratif. Selama ini, Sarpin mengaku sering kerepotan mengurus administrasi bila ada warganya yang sampai dibawa ke rumah sakit. Misalnya saat proses melahirkan. ”Ngurus jampersal, harus ada KTP dan KK. Saya sampai nginep di RS, sering begitu,” kenang Sarpin.

Sebenarnya urusan pendaftaran e-KTP dengan metode jemput bola tersebut sudah dilakukan pada 2012. Tapi, hasilnya kurang maksimal. Saat itu terekam sekitar 4.000 warga. Namun, karena beberapa persoalan seperti data yang salah atau hilang, yang tercetak hanya sekitar 3.500 e-KTP.

Partisipasi masyarakat Baduy di Kanekes dalam perekaman data e-KTP memang termasuk yang paling rendah. Ada pemicu yang berupa latar belakang budaya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News