Tanpa Laga, Liverpool Sudah Juara
Oleh: Imam Dzulkifli, Pewarta Olahragajpnn.com, MAKASSAR - PERNAHKAH kamu menaruh cinta pada dua hati? Saya pernah. Dan menjalaninya sungguh rumit. Cepat atau lambat, kamu akhirnya harus melepaskan salah satu dari mereka. Kamu tidak akan sanggup untuk adil.
Masa remaja saya berlangsung dalam situasi seperti itu. Saya tidak pernah bisa menjawab pertanyaan, "Cinta mana, Juventus atau Liverpool?" Saya membeli kostum keduanya. Saya menonton pertandingan keduanya. Saya tahu soal Delle Alpi dan Anfield. Saya membaca kisah-kisah di Turin dan Merseyside.
Tetapi di 2012, saya memutuskan berhenti menggemari Juventus. Mereka gagal memberi contoh bijak memperlakukan seseorang yang banyak berjasa. Del Piero seharusnya tidak ke Sydney.
Sejak itu saya tak lagi ke dua hati. Meski dalam setiap kabar kemenangan Juve, saya tetap menyelipkan rasa bahagia. Begini, sebersih-bersihnya kamu menggosok wajan yang penuh kerak, sangat mungkin masih ada yang tertinggal.
Saya bahagia bersama ratusan juta orang lain yang juga menyayangi Liverpool. Tak ada piala yang rutin di setiap musim, namun klub ini tak henti-henti mengajarkan perjuangan dan kerja keras. Kami membanggakan prinsip itu; bahwa uang bukan syarat untuk tersenyum.
Musim ini, pesan-pesan untuk menikmati proses, datang lagi dari Melwood dan Kirby, tempat yang sejuk di Inggris. Seorang pria Mesir yang pernah dibuang di London, justru tumbuh sebagai pahlawan di utara. Liverpool memberinya panggung dan perlahan dia menemukan kepercayaan dirinya sebagai anak kampung yang setara dengan Ronaldo atau Messi.
Istimewanya, Mohamed Salah menolak jadi pelupa. Dia tak membiarkan kebintangannya kini menjadi penyebab hilangnya semangat untuk terus berjuang. Bukan berlatih seadanya lalu membeli kapal pesiar dan pesta-pesta di tengah samudera.
Salah tetaplah pemain yang harus tiba tepat waktu di kamp latihan.