Tanpa Laga, Liverpool Sudah Juara
Oleh: Imam Dzulkifli, Pewarta OlahragaDi luar lapangan, dia bersyukur. Ambulans, sekolah, rumah sakit diadakannya di Nagrig, tempatnya dilahirkan. Beberapa jam jelang dia tampil di final Liga Champions, keluarganya memotong tiga ekor sapi di pusat kota Basion sebelah barat. Daging dicincang kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir yang kemungkinan akan memasaknya menjadi kari.
Sadio Mane, trisula Liverpool lainnya mengirim 300 jersey ke Bambali, desa di Senegal, tempat keluarga besarnya masih tinggal. Termasuk ibunya. Mereka akan menonton bareng sambil menghirup aroma pabrik tekstil yang kadang masih tersisa di baju baru.
Jadi, Anda tak perlu bertanya ke mana saya mengarahkan doa dalam laga puncak Liga Champions. Saat Salah dan rekan-rekannya memasuki Olympiyski Stadium, harapan besar sudah saya kirimkan berkali-kali.
Bagi saya dan mungkin juga penggemar lain Liverpool, bukan piala berkuping besar itu yang paling dibutuhkan. Kami sudah pernah merebutnya di Istanbul. Dengan cara yang tidak gampang pula. Namun memang sangat baik bila Liverpool yang menang.
Ada banyak hal positif yang akan terjadi di berbagai belahan dunia ini bila tim berbaju merah yang juara. Anak-anak muda bakal semakin percaya bahwa meski kamu kecil, kamu tidak dilarang punya impian besar. Dan itu bisa terwujud kalau kamu berjuang dan menghargai prosesnya.
Semangat semacam itu sudah lama kami rawat di kalangan terbatas pencinta Liverpool. Seseorang Kopites (julukan penggemar Livepool yang tidak tinggal di kota Liverpool) mengaku sangat ingin terbang ke Kiev, tempat laga final itu digelar.
Namun dia sadar, akan butuh sangat banyak biaya. Kiev bukan Paris atau Munchen yang segalanya mudah. Belum lagi untuk membeli tiket stadion yang mahalnya membuat minta ampun itu.
"Saya memang punya rencana ke Kiev. Tetapi tak punya keinginan masuk ke stadion. Menyaksikan bus Liverpool masuk ke Olympiyski dan lalu (semoga) keluar menenteng piala akan menjadi pengalaman yang sungguh mengasyikkan. Sesederhana itu."