Tekan Angka Perokok, Pemerintah Perlu Terapkan Strategi Komunikasi Tersegmentasi
jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Universitas Sahid Jakarta, Profesor Kholil meminta pemerintah untuk menerapkan strategi komunikasi yang berbeda untuk menurunkan angka perokok agar lebih efektif.
Pasalnya, pemerintah dinilai belum berhasil dalam menurunkan prevalensi merokok di Indonesia melalui peringatan gambar kesehatan.
“Perlu strategi komunikasi secara tersegmentasi untuk mengedukasi masyarakat, karena perokok berat berbeda dengan perokok ringan. Begitu juga latar belakang usia, pendidikan dan pekerjaan berbeda karakteristiknya,” ujar Kholil.
Berdasarkan hasil kajian ilmiah terhadap 930 responden yang melibatkan sejumlah akademisi, dokter, tenaga kesehatan, perokok, dan pengguna produk tembakau alternatif, hanya sekitar 7,96% yang memilih opsi label peringatan kesehatan sebagai strategi yang sesuai agar perokok berhenti merokok.
Sebesar 29,89% edukasi memilih edukasi melalui media online, 27,42% diskusi komunikasi tersegmentasi, dan 22,47% regulasi.
“Edukasi melalui bungkus rokok itu sama, padahal dari segi pemahaman, karakteristik, perilaku para perokok itu berbeda-beda. Kalau digeneralisasi seperti sekarang ini, tidak efektif. Jadi harus dilakukan pendekatan secara tersegmentasi,” tutur Kholil.
Kholil menjelaskan strategi komunikasi bagi perokok usia 25-35 tahun perlu dengan cara meningkatkan kesadaran mengenai hidup sehat tanpa rokok, pengetahuan tentang perbedaan nikotin dan TAR, preferensi untuk memilih hidup sehat, serta aksi untuk berhenti merokok secara bertahap.
“Apa sih yang jadi bahaya merokok itu? Jadi bahaya rokok ada pada TAR yang muncul karena pembakaran tembakau, kemudian menghasilkan karsinogen,” kata dia.