Terlalu Riskan Menaikkan Harga BBM
jpnn.com, JAKARTA - Menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) di tengah melambungnya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dinilai masih riskan.
Sebab, konsumsi rumah tangga saat ini masih melambat di angka 4,9–5 persen. Masyarakat juga dibebani kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyatakan, meski pada September terjadi deflasi 0,18 persen, menaikkan harga BBM subsidi dinilai belum pas.
’’Deflasi cuma temporer karena harga di tingkat produsen sebenarnya sudah naik. Tinggal tunggu waktu ke harga jual konsumen,’’ ujarnya seperti diberitakan Jawa Pos.
Menurut dia, pemerintah perlu mempertimbangkan mitigasi risiko kenaikan BBM ke sektor riil dan pelaku usaha. Sebab, jika harga BBM dinaikkan tanpa mitigasi risiko ke perekonomian, langkah itu bisa menjadi blunder bagi pemerintah.
Penambahan anggaran subsidi energi dalam APBN ke Pertamina dinilai cukup tepat menahan harga BBM hingga akhir tahun. Pemerintah memang bersikukuh tidak menaikkan harga BBM bersubsidi seperti solar dan minyak tanah serta premium hingga akhir tahun.
Harga solar saat ini masih bertahan di Rp 5.150 per liter, minyak tanah Rp 2.500 per liter, dan premium Rp 6.450 per liter. Meski begitu, harga BBM nonsubsidi masih bisa dinaikkan guna menekan kerugian badan usaha BBM. ’’Penggunanya adalah kalangan kelas menengah dan atas. Jadi, kenaikannya masih bisa ditoleransi asalkan tidak terlalu tinggi,’’ terangnya.
Salah satu badan usaha BBM yang telah menaikkan harga jual adalah PT Shell Indonesia. Perusahaan asal Belanda itu menaikkan harga dua kali dalam sebulan. Berdasar data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Shell menaikkan harga BBM pada 17 September 2018 dan 28 September 2018.