Ternyata, Sudah Ratusan Orang Indonesia yang Mengaku Nabi
Karena diskriminasi yang kerap mereka alami, masuk ke dalam komunitas agama bukan perkara mudah. Butuh pendekatan khusus. ’’Kuncinya adalah kejujuran sejak awal,’’ ujar peneliti asal Jogjakarta itu.
Peneliti harus jujur dan konsisten dengan tujuannya, yakni ilmu pengetahuan. Pria yang sudah menerbitkan lima buku mengenai budaya dan agama itu mengawali penelitiannya dengan berkawan dengan pengikut setiap ajaran. Setelah itu baru mengungkapkan niat untuk melakukan penelitian.
Selama masa penelitian itu, Al Makin harus bolak-balik antara lokasi penelitian dan Jogjakarta. Dia bisa tinggal bersama komunitas agama tertentu selama seminggu atau sebulan, baru kembali ke Jogjakarta. Di mana pun berada, dia tetap terus berhubungan dengan masing-masing kelompok agama.
Dari situlah, ayah dua anak tersebut menyimpulkan bahwa pemerintah masih menganggap perbedaan sebagai sebuah ancaman, bukan potensi. Pemerintah belum bisa menghargai dan menempatkan mereka dalam posisi yang adil sebagaimana terhadap keenam agama resmi.
Dia juga bisa menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat religius. Munculnya banyak agama dan nabi merupakan dampak religiusitas itu. Segala sendi kehidupan masyarakat selalu dikaitkan dengan agama yang dianut, dan itu tidak bisa terbantahkan.
Karena itu, definisi agama versi Al Makin pun sedikit berbeda dengan definisi agama versi pemerintah. Bagi dia, agama adalah keyakinan tentang sesuatu yang gaib. Kemudian, keyakinan tersebut menghasilkan masyarakat. Sebuah keyakinan bisa disebut agama apabila ia bisa bertahan hidup dan melahirkan banyak pengikut, meski pendirinya sudah meninggal.
’’Kalau gagal menghasilkan pengikut dan mati bersama pengikutnya, maka dia gagal sebagai agama,’’ terang penghobi snorkeling dan diving itu.
Agama memiliki simbol, ritual, dan tempat suci yang dihormati. Di Indonesia, banyak sekali yang memenuhi kriteria tersebut. Hanya, mereka tidak mendapatkan proteksi sebagaimana enam agama yang diakui pemerintah.