Terpikat Forensik karena juga Urusi Orang Hidup
Selasa, 23 September 2008 – 11:06 WIB
”Teman Holmes, (John H) Watson itu ternyata dokter. Banyak analisis kasusnya yang merupakan analisis medis. Ini yang namanya medical detective,” kata bapak tiga orang anak itu.
Tak heran begitu lulus dari FK UI, dia ambil spesialisasi forensik di FK UI pun dan lulus pada 1986. Pada 1992, dengan beasiswa dari Japan Society for the Promotion of Science (JSPS), Djaja berangkat ke Negeri Sakura dan menempuh pendidikan Phd selama tiga tahun di sana.
”Saya mengambil kelas yang bisa pulang pergi Jakarta-Jepang sekalian mempersiapkan laboratorium. Apa artinya punya ilmu tapi tak punya laboratorium,” kata pria yang berkacamata dengan bingkai ”trendy” hitam-putih itu.
Lima tahun setelah pulang dari Jepang, pada 2001 dia kembali mendapat beasiswa dan menggondol gelar DFM (Diploma in Forensic Medicine) dari Universitas Ultrech, Belanda. ”Semua sekolah saya mendapat beasiswa, kecuali gelar SH (Sarjana Hukum) di UI yang saya harus bayar sendiri,” katanya lalu tersenyum.
Secara umum, kata Djaja. tes DNA (asam nukleat yang mengandung materi genetik dan berfungsi untuk mengatur perkembangan biologis seluruh bentuk kehidupan) dilakukan dengan membandingkan sampel post mortem dengan ante mortem.
Post mortem didapatkan dari kerangka, bagian tubuh, atau benda-benda yang mengandung DNA yang hendak dianalisis milik siapa. Sedang ante mortem diambil dari mereka yang diduga sebagai bapak dan ibu kandung serta anak kandung. Juga bisa dari sampel milik korban semasa hidup yang bisa dipastikan asalnya seperti tali pusar yang tersimpan dan sisa-sisa rambut di barang-barang pribadinya.