Tetap Ngojek meski Kini Telah Jadi 'Artis'
Kini dedikasinya untuk memajukan sepak bola di kampung mulai terbayar. Perjalanan karir Sani semakin dikenal masyarakat Indonesia berkat novel serta film yang diangkat dari kisah nyatanya. Melalui film Cahaya dari Timur: Beta Maluku dan novel Jalan Lain ke Tulehu, bapak tiga anak itu kini sering diminta foto bareng oleh banyak orang.
”Beta di kantor diledek teman-teman sebagai ’artis’. Tapi, tak apalah. Beta bisa membuat masyarakat Tulehu dan Maluku bangga. Itu sudah membuat beta senang,” kata Sani saat ditemui kemarin (8/7).
Sani lalu menceritakan ihwal produksi film kisah hidupnya pada 2012. Suatu hari dia ditemui sutradara muda Angga Dwimas Sasongko. Sang sutradara bermaksud meminta izin ingin memfilmkan kisah hidupnya sebagai pelatih sepak bola anak-anak di Maluku. Mantan siswa Diklat Ragunan itu awalnya ragu. Sebab, dia merasa tak ada yang istimewa dari perjalanan hidupnya.
”Tapi, beta diyakinkan Dwimas, Kakak Sani pasti kaget dengan hasil akhir film ini. Dan itu benar. Ketika premier film diputar di Jakarta pada 12 Juni lalu, saya nangis dari awal sampai akhir film itu. Bagus sekali,” kenang Sani.
Film itu dibuat selama enam bulan pada 2013. Sani menunggui langsung syuting film tersebut. Meski dia sempat sungkan karena berkali-kali meminta izin ke tempatnya bekerja, kepala dinasnya toh mengizinkan.
Sani mengakui, dalam beberapa bagian film itu, ada yang didramatisasi. Tapi, dia tidak keberatan karena film mesti perlu bumbu agar menarik. Misalnya scene Sani (yang diperankan aktor Chicco Jerikho) menjual kambing milik istrinya untuk menalangi biaya pengiriman tim Maluku bertanding di Jakarta. Pada kenyataannya, Sani dan Haspa, istrinya, tak pernah memiliki kambing.
Di antara scene-scene di film Cahaya dari Timur: Beta Maluku tersebut, Sani punya yang paling istimewa. Yakni adegan dirinya pamit dengan mencium kening sang istri untuk mendampingi tim Maluku U-15 ke ibu kota. ”Beta sama sekali tak meninggalkan uang buat Bu Haspa dan anak-anak,” ungkap Sani, ”itu kenangan yang paling beta sulit lupakan sampai sekarang.”
Sani mengalami saat-saat yang mendebarkan ketika berjuang mati-matian untuk menyelamatkan anak-anak Tulehu agar tak terseret perang agama di Ambon pada akhir 90-an. Sani mengenang masa itu sebagai masa kritis, bagaimana caranya bertahan hidup dan bukan bagaimana bisa makan.