Thor: Ragnarok, Kiamat yang Segar dan Lucu
Bagi dia, Ragnarok adalah kesempatan besar untuk keluar dari zona nyaman.
’’Film terakhir (Hunt for the Wilderpeople, 2016) saya buat dengan mudah dan saya merasa itu tidak baik. Saya harus mengerjakan yang membuat tidak nyaman. Ini tantangan yang saya cari,” ujar pria yang film pendek garapannya, Two Cars, One Night, masuk nominasi Academy Awards 2005 itu.
Jika di film-film sebelumnya dia sering merangkap tugas karena keterbatasan bujet, pengalaman itu tak dirasakannya lagi. Ada 1.000 orang di lokasi syuting Ragnarok yang siap menunggu arahannya.
Selain itu, sejumlah seniman digital sudah disiapkan untuk membuat adegan semakin sempurna dengan bantuan teknologi.
”Di satu sisi ini menyenangkan. Tapi, di sisi lain ini membuat kita merasa lebih malas. Saya merasa seperti, ya tenang saja menggarapnya, nanti ada yang memperbaiki kok,” ceritanya.
Meski begitu, Waititi tak mau menyiakan kepercayaan yang sudah diterima. Dia mengolah Ragnarok ini dengan cara yang berbeda dibanding Thor (2011) dan Thor: The Dark World (2013).
Diadaptasi secara bebas menurut mitologi Nordik, Ragnarok merujuk pada siklus apokaliptik (kiamat) antara kematian dan kelahiran.
”Ini adalah kelahiran secara menyeluruh, jadi saya ingin melakukan sesuatu yang unik. Kami memberikan warna baru, wajah baru, karakter paling aneh, sampai musik juga yang paling aneh,” tutur pria kelahiran Wellington, Selandia Baru, 16 Agustus 1975, itu.