Tidak Paksakan RUU Jogja
Selasa, 01 September 2009 – 10:55 WIB
Sebaliknya, mayoritas fraksi di Komisi II DPR cenderung menghendaki tetap mempertahankan mekanisme lama, yakni pengukuhan. Parardhya dianggap hanya memisahkan Sultan dan Paku Alam dari rakyatnya. Dan, ini dianggap melanggar prinsip-prinsip keistimewaan di Jogjakarta. Mardiyanto menegaskan substansi RUU Keistimewaan Jogjakarta bukan hanya mengatur masalah gubernur dan Parardhya saja. Dia mencontohkan masa bakti Sultan dan Paku Alam yang tidak terbatas. ’’Harus dimodifikasi. Kalau tidak, berarti gubernur seumur hidup, tidak bagus juga,’’ kata Mardiyanto.
Anggota Komisi II Agus Purnomo meyakini akan ada titik tengah. Karena pembahasan RUU Keistimewaan Jogjakarta tersebut juga berkaitan dengan tafsir terhadap konstitusi. ’’Kalau nggak ada konsensus, publik akan menilai antar pasal di UUD saling bertentangan,’’ kata legislator dari FPKS itu.
Dia menuturkan, pemerintah ngotot agar digelar pilgub karena berpatokan pada pasal 18 ayat 4 UUD 1945. Disebutkan bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.Penerjemahannya bisa dipilih melalui DPRD, maupun dipilih langsung oleh rakyat. Agar konsisten dengan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi oleh UU No.12/2008, maka Gubernur Jogjakarta seharusnya dipilih langsung.