Tragedi Pompom
Oleh Dahlan IskanBelum lagi Kamis keesokan harinya: itulah puncak parade Thanksgiving. Berbagai atraksi spektakuler tampil di jalan raya.
Kakek Mirza pasti sering menontonnya secara langsung. Saya baru sekali. Terkagum-kagum. Serba-spektakuler. Sambil ingat karnaval di desa saya. Yang dulu selalu saya ikuti. Setiap tahun baru 1 Muharam. Hanya pakai sarung dan kopiah.
Tahun lalu, di puncak pandemi Covid-19, parade di New York itu tetap dilaksanakan: secara virtual. Untuk kali yang pertama dalam sejarahnya.
Tahun ini, Kamis besok, jadi ajang balas dendam: dibuat sangat meriah. Bisa dilihat secara live.
Tahun ini liburan Thanksgiving, satu minggu, juga jadi ajang balas dendam: mudik. Jalan-jalan raya ke luar kota besar padat merayap. Di sana bebas. Mudik boleh. Pulang kampung tidak dilarang.
Mereka akan pesta di rumah orang tua masing-masing. Menu utamanya: kalkun panggang. Saya pernah sekali ikut pesta seperti itu di sebuah rumah tangga di sebuah desa di New Jersey.
Setelah makan, yang wanita tetap ngerumpi di sekitar meja makan. Yang laki-laki nonton football.
Orang Waukesha –nama kota ini diambil dari nama kepala suku Indian yang menghuni wilayah itu sebelum tahun 1834– tentu akan melewati hari Thanksgiving dengan penuh duka.