Tukang Parkir Ini Hatinya Sangat Mulia
Penolakan juga terjadi di sekolah anak-anak ADHA. Saat mendaftarkan anak-anak sekolah, Puger memang tidak memberi tahu bahwa mereka adalah ADHA.
Dia sadar, sekali berkata jujur soal itu, anak-anaknya sudah bisa dipastikan akan putus sekolah. Tidak ada sekolah yang mau menerima anak-anak dengan kondisi seperti itu. Jika ada, belum tentu orang tua siswa menerima ’’anak-anak’’ Puger tersebut.
’’Jadi, slogan ’jauhi virusnya bukan orangnya’ itu pada praktiknya tidak ada. Tetap saja mereka dikucilkan. Bahkan oleh sekolah. Untungnya ada satu sekolah yang mau menerima mereka,’’ ungkap Puger.
Yang membuat Puger tidak habis pikir, ada sebuah rumah sakit yang menolak anak-anaknya untuk berobat.
Tapi, kali ini dia tidak mau tinggal diam. Dia siap berjuang habis-habisan. Sebab, kondisi anak-anak itu sangat bergantung pada rumah sakit. Jika rumah sakit menolak, apa jadinya anak-anak tersebut?
Puger lalu melayangkan surat protes kepada manajemen rumah sakit tersebut. Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa penolakan tersebut bukan karena mereka memilih-pilih pasien.
Tapi, saat itu mereka belum mampu menangani. Dokter dan perawat rumah sakit tersebut belum berkompeten menangani pasien dengan HIV/AIDS.
’’Penjelasan mereka semula begitu. Namun, ketika manajemennya berganti, mereka akhirnya mau menerima anak-anak tanpa biaya sepeser pun. Setiap bulan kami juga selalu mendapat obat gratis dari rumah sakit itu,’’ terang Puger tanpa bersedia menyebutkan rumah sakit yang dimaksud.