Tunda Pengesahan RKUHP, Dini: Terima Kasih Pak Jokowi Telah Mendengar Suara Rakyat dan PSI
Sejak awal, PSI menolak RKUHP karena tiga alasan utama. Pertama, pengadopsian secara serampangan living law atau hukum yang hidup di masyarakat dengan memasukkan pasal-pasal terkait pidana adat.
“Penjelasan Pasal 2 ayat (1) RKUHP menjelaskan bahwa yang “hukum yang hidup di masyarakat” akan diatur dalam perda. Hal ini akan berdampak pada munculnya perda-perda diskriminatif dan intoleran di seluruh Indonesia,” kata Dini.
Kedua, lanjut Dini, RKUHP sangat berpotensi memicu efek negatif terhadap sektor usaha. Terutama, terkait Pasal 48 dan pasal 50.
Pasal 48 berbunyi: “Tindak pidana korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tapi dapat mengendalikan korporasi.”
Sementara, Pasal 50 berbunyi: “Pertanggungjawaban atas tindak pidana oleh korporasi dikenakan terhadap korporasi, pengurus yang punya kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat korporasi.”
“Dua pasal itu tidak kondusif untuk dunia usaha karena menciptakan ketidakpastian hukum. Pengusaha atau pengurus korporasi akan takut melakukan tindakan apa pun karena bila business judgment mereka salah maka rentan dipidana,” kata Dini.
Terakhir, menurut Dini, RKUHP terlalu banyak masuk ke dalam ranah privat warga negara. Hukum pidana seharusnya fokus kepada apa yang dimaksud dengan “kejahatan”, apa elemen-elemennya. Konsep kejahatan dalam hal ini harus obyektif dan universal, tidak bisa hanya berpatokan kepada adat kebiasaan atau agama tertentu.(fri/jpnn)