Turning Point Kota Solo dari Intoleran Menjadi Toleran
Oleh: Ilham BariziGibran memfokuskan upayanya untuk membangun atmosfer inklusif di kota, di mana semua warga merasa aman dan dihargai tanpa memandang perbedaan agama.
Perubahan Paradigma Intoleransi
Multikulturalisme agama menekankan pada inisiatif pemerintah dan memerlukan partisipasi aktif negara untuk melindungi warga dengan keyakinan agama yang berbeda, terutama kelompok agama minoritas.
Sayangnya, seperti dinilai oleh Augie Fleras dalam “Multiculturalism as Governance: Principles and Paradoxes, Policies and Perspectives,” proses demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia belum membawa pada formulasi kebijakan publik yang merangkul secara universal, inovatif, dan inklusif terhadap keragaman budaya dan agama yang ada di Indonesia.
Bahkan, di banyak daerah, kasus intoleransi masih sering terjadi.
Namun demikian, Gibran berupaya mengubah paradigma intoleransi yang melekat pada Solo.
Sebagai contoh, sebelumnya, Solo dikenal sebagai kota yang sulit memperoleh izin pembangunan tempat ibadah bagi kelompok agama minoritas.
Namun, dengan kepemimpinan Gibran, setiap warga bebas untuk merayakan hari besar agamanya secara meriah, tanpa takut akan diskriminasi atau hambatan.