Uang Suara
Oleh: Dahlan IskanDengan mesin dua warna pasti pula banyak sekali "uang rusak" dihasilkan oleh mesin itu. Yakni uang yang gambar dan warnanya tidak menyatu. Jadi sampah. Sampah uang. Entah di mana sampah uang itu sekarang. Mungkin selalu dibakar.
Dari sinilah saya akhirnya memahami mengapa yang dicetak hanyalah uang lembaran Rp 100.000. Biaya mencetaknya mahal. Kertasnya harus bagus. Juga mahal. Belum ada pabrik kertas di dalam negeri yang bisa menghasilkan kertas bermutu uang.
Maka tidak heran bila ongkos cetak uang palsu di UIN ini satu lembarnya sampai Rp 57.000. Berarti kalau mencetak lembaran Rp 50.000 dia justru rugi.
Tingginya ongkos cetak itu juga terkait dengan mutu mesin. Dalam dunia percetakan, Tiongkok belum dikenal sebagai negara yang mampu membuat mesin cetak bermutu tinggi. Jerman-lah juaranya. Di bawah itu hanya ada Italia.
Lalu, kalau bukan Andi Ibrahim siapa otak pencetakan uang palsu itu?
Ada satu nama yang juga disebut dalam kasus ini: Annar Salahuddin Sampetoding, disingkat ASS. Akan tetapi belum jelas apa peran Annar. Dia sudah dipanggil polisi tetapi belum datang ke kantor polisi.
Tentu kita tidak boleh menyangka Annar-lah otaknya. Untuk apa? Dia seorang pengusaha yang cukup ternama di Makassar. Namanya masuk dalam daftar panasihat tim pemenangan calon gunernur Sulsel yang terpilih.
Annar juga dari keluarga terhormat. Ayahnya adalah seorang eksporter kopi Toraja yang terkemuka. Makam leluhurnya berada di tebing gunung paling tinggi di Toraja -menandakan sebagai orang paling dihormati. Meski seorang Muslim keluarga Annar masih menghormati adat leluhur Toraja.