Ujaran Kebencian dan Kekerasan Antimuslim di Sri Lanka
Presiden Muslim Council of Sri Lanka Nizamuddeen Mohamed Ameen menambahkan bahwa kecemburuan juga menjadi salah satu sebab sentimen warga Sinhala.
Mereka beranggapan umat muslim menguasai perekonomian. Persis unggahan video Weerasinghe. Padahal, itu mitos belaka. Memang banyak umat muslim yang memiliki toko kecil. Namun, yang dijual adalah barang kebutuhan sehari-hari. Bisnis yang dilakukan bukan skala besar.
Penindakan yang setengah hati dari pemerintah juga membuat penduduk Buddha Sinhala di atas angin. Setiap kali terjadi kerusuhan, yang ditangkap hanya beberapa orang. Itu pun kerap kali mereka akhirnya dibebaskan.
Sebagai contoh adalah ujaran kebencian yang dilontarkan biksu Buddha Galagoda Atte Gnanasara dari kelompok garis keras Bodu Bala Sena (BBS). Pidatonya pada 2014 memicu gelombang antimuslim di Aluthgama. Insiden itu menewaskan empat orang dan melukai 80 lainnya.
Gnanasara saat itu tak ditangkap. Bukannya menangkap, pemerintah justru berusaha menutup-nutupi apa yang terjadi. Media-media lokal ditekan agar tak memberitakan kerusakan masif yang terjadi saat itu.
Sentimen dan insiden antimuslim terus terjadi setelahnya dalam skala yang lebih kecil. Baru pada 2017 Gnanasara berstatus buron gara-gara tidak hadir di pengadilan karena ujaran kebencian yang dilontarkannya. Dia akhirnya menyerahkan diri, tapi kemudian bebas dengan jaminan.
Aktivis HAM Sri Lanka Thyagi Ruwanpathira menegaskan, jika saja pemerintah dan penegak hukum bisa berubah dan mereka yang bersalah benar-benar dihukum, pelaku tidak akan seberani sekarang ini.
Sejak terpilih pada 2015, Presiden Maithripala Sirisena berjanji untuk menghukum pelanggar HAM. Tapi, janji itu hampir tak pernah terealisasi.