Urgensi Pengawasan Terhadap Sistem Peradilan Dalam Rangka Transformasi Independensi Hakim yang Tepercaya
Sistem pengawasan melekat (seperti evaluasi 360 dalam reformasi birokrasi kepegawaian) belum sepenuhnya dilaksanakan secara efektif dan konsisten.
Mekanisme pengawasan yang ada masih belum memadai dan kurang didukung dengan sumber daya yang memadai. Sistem aduan juga tidak melindungi para pengadu yang notabene kebanyakan adalah para pegawai di lembaga peradilan itu sendiri.
3. Masih adanya celah pada regulasi pengawasan. Hal ini terutama berkaitan dengan kekhawatiran akan celah intervensi atau politisasi yang dibenturkan dengan prinsip independensi dan kemerdekaan hakim.
Sebagai konsekuensinya, Komisi III DPR juga kini hanya bermitra dengan Sekretaris MA atau tidak mengawasi langsung fungsi Yudikatif sebagaimana dalam teori pembagian kekuasaan yang telah diatur dalam UUD NRI 1945.
Selain itu, walaupun telah ada beberapa aturan khusus mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan MA, aturan tersebut tidak berlaku secara efektif pada prakteknya. Kasus korupsi yang melibatkan hakim juga belum diatur khusus sehingga masih banyak yang vonisnya tidak memberi efek jera.
4. Kurangnya perhatian pada peningkatan kapasitas dan integritas hakim. Banyak hal seperti sistem promosi jabatan dan penilaian kinerja hakim yang tidak berbasis kemampuan dan profesionalitas.
Ketiadaan program yang benar-benar menekankan pada integritas hakim dan sanksi (punishment) yang tegas terhadap hakim yang tidak profesional atau berintegritas.
5. Masih belum optimalnya transparansi dan akuntabilitas publik pada hakim (yang notabene adalah juga pejabat negara), sehingga membuat tingkat kecurigaan masyarakat atau skeptisme masyarakat pada lembaga peradilan dan penegak hukum menjadi besar.