Vonis Dahlan Iskan dan Negeri yang Gagal Berterima Kasih
Oleh IMAM SHAMSI ALI*Ternyata bayangan saya tentang sosok Dahlan Iskan terpeleset. Bayangan saya tentang seorang pengusaha yang (maaf) rakus, tiada puas, dan cenderung menghalalkan segala cara tidak ada pada Pak Dahlan. Beliau menjabat posisi-posisi strategis di negeri ini, tapi tak serupiah pun beliau ambil. Yah, untuk apalah gaji dan fasilitas itu dengan kekayaan yang beliau miliki?
Tapi, masalahnya bukan pada kekayaan. Melainkan jiwa beliau yang memang sudah merasakan ”kepuasan dengan apa adanya”. Bukan jiwa yang bergantung pada harta dan tidak pernah menemukan kata puas dalam hidup.
Sejak menjadi pejabat tinggi negara, Dirut BUMN (PLN) maupun menteri, beliau menjalani hidup tanpa berubah. Jika pergi ke pertemuan dengan presiden dan mengharuskan naik ojek atau kendaraan umum, beliau lakukan. Dan semua itu dilakukan bukan sekadar untuk pencitraan. Tapi, memang itulah beliau apa adanya.
Setelah selesai di pelayanan publik (menteri), beliau kembali menjalani hidup biasa. Salah satunya kembali mendalami keilmuan di berbagai tempat. Salah satunya di Mid West, Amerika Serikat. Sekali lagi, sebuah pembuktian karakter yang luar biasa. Bahwa posisi tinggi bukan jaminan kualitas pendidikan. Setiap orang harus berani mengembangkan kualitas diri.
Saat berada di Amerika itulah saya sempat berinteraksi dengan beliau beberapa kali. Suatu hari saya dikejutkan oleh pesan singkat, ”Ustad, ini Dahlan Iskan. Saya mau ketemu jika ustad berkenan.” Sejujurnya, saya masih menyangka itu Dahlan Iskan yang lain. Bukan pengusaha sukses dan mantan menteri. Kenyataannya, itulah beliau.
Di New York, beliau bahkan menolak dijemput dengan kendaraan pribadi saya. Apalagi dengan kendaraan dinas perwakilan pemerintah. Beda dengan yang lain, terkadang anak dan keluarganya saja minta dilayani bak raja.
Dua tahun lalu saya mengundang beliau untuk menjadi pembicara di PBB dalam sebuah seminar yang disponsori yayasan saya, Nusantara Foundation. Sebagai undangan, beliau sama sekali tidak meminta apa pun, bahkan penjemputan. Beliau lakukan semuanya karena sebuah dorongan pengabdian.
Dalam sebuah WhatsApp group di mana beliau dan saya jadi anggota, beliau aktif mengikuti diskusi-diskusi yang ada. Bahkan sekali-sekali japri ke saya dan menyampaikan keresahannya tentang arah dan cara berpikir sebagian anggota grup yang kebanyakan adalah petinggi agama (ulama).