Warga Cireundeu Mengonsumsi Nasi dari Beras Singkong, Sudah Hampir Seabad
”Makan rasi itu sudah menjadi tradisi di sini,” kata Ketua Adat Cireundeu Emen Sunarya alias Abah Emen.
Tak seperti suku Baduy, meski sama-sama warga kampung adat, penduduk Cireundeu tak menolak teknologi dan sekolah. Warga kampung adat penghayat Sunda Wiwitan itu sepenuhnya menerima perkembangan zaman.
Prinsip mereka, Ngindung ka Waktu, Mibapa ka Jaman. Maksud Ngindung ka Waktu, sebagai warga kampung adat memiliki ciri dan keyakinan masing-masing atau menjaga adat. Sedangkan Mibapa ka Jaman bermakna mengikuti perkembangan zaman.
Tentu saja modernisasi itu sedikit banyak membawa pengaruh di sana-sini. Apalagi, pendatang juga berdatangan. Kawin-mawin dengan warga luar Cireundeu terjadi.
Tapi, kebiasaan mengonsumsi nasi singkong tetap lestari. Sopiah contohnya. Perempuan 25 tahun tersebut bersuami lelaki dari luar Cireundeu. Meski suaminya mengonsumsi beras nasi seperti mayoritas warga Indonesia, Sopiah bertahan dengan rasi.
Setiap hari dia memasak dua jenis makanan pokok: rasi untuknya dan beras untuk suami serta kedua anaknya. ”Anak mah bebas mau ikut siapa,” ungkapnya dengan logat Sunda kental.
Saat keluar kota atau pergi kondangan, Sopiah juga selalu membawa bekal beras singkong. ”Kalau (pergi) lama, bawa bahan yang mentah, masak sendiri,” imbuhnya sambil mengocok telur dengan mikser di balai adat tempat ibu-ibu memasak kue siang itu.
Indonesia adalah negeri beras. Dalam periode Januari sampai November 2018, misalnya, pemerintah harus mengimpor beras sebanyak 2,25 juta ton. Jauh melonjak dari periode Januari–Desember setahun sebelumnya yang mencapai 305,2 ribu ton.